Tertatih 4

91 15 48
                                    

Langit sore yang awalnya sudah mulai menjingga perlahan hilang digantikan dengan malam yang gelap. Suara adzan yang berkumandang saling bersautan mulai berhenti, hanya beberapa masjid yang terdengar masih melantunkan sholawat atau suara seseorang yang tengah mengaji. Hal itu menandakan bahwa mahgrib telah lewat beberapa menit yang lalu, jam dinding menunjukkan pukul 18.30, lampu teras juga telah kunyalakan. Makan malam pesanan Mas Fatih pun telah siap. Namun, suamiku itu belum juga menampakkan dirinya.

Bunyi microwave menyadarkanku  yang tengah berada di ruang tamu untuk segera menuju ke dapur. Macaroni schotelku telah matang. Entah kenapa dari pagi aku sudah membayangkan betapa lezatnya makanan kesukaanku ini.

Begitu pintu oven terbuka dan aku tengah mengeluarkan beberapa cetakan alumunium foil ukuran 5cm x 5cm dan satu loyang kaca, bau harum macaroni schootelku semerbak memenuhi rumah. Sengaja aku membuat lebih, guna dibagi ke tetangga sebelah juga Mbak Devina yang rumahnya tak jauh dari rumah kami.

"Assalamu'alaikum, wah baunya kayaknya enak nih. Bikin apa, sayang?" ucap Mas Fatih yang kudengar dari arah ruang tamu.

"Wa'alaikumsalam, Mas. Iya lagi pengen bikin macaroni schootel." Aku sengaja belum menyambutnya dengan mencium tangannya atau sebuah pelukan karena Mas Fatih melarangku mendekatinya sebelum ia membersihkan diri dan ganti baju.

Seperti biasa, ia langsung menuju pintu samping yang mengarah ke kamar mandi. Setelah mandi lelakiku itu juga langsung mencuci seragam PDLnya. Mas Fatih sejak awal kami menikah melarangku menyentuh semua seragamnya.

"No, aku aja yang nyuci seragamku sayang. Emang kuat? Tebel lho ini." Begitu ucapannya saat awal menikah, waktu itu aku berniat membantunya mencuci seragam-seragamnya.

Sejak itu semua seragam dan perlengkapannya hanya dirawat oleh Mas Fatih. Aku hanya bagian menyiapkannya saja saat akan dipakainya. Sebenarnya lebih sayang seragam kalau sampai aku salah nyuci begitulah maksud terselubung suamiku itu.

Aku baru menyelesaikan semua kueku dan siap dibagikan. Beberapa macaroni juga sudah kupisahkan di kantong plastik siap untuk diantar.

"Mau dianter, sayang?" Mas Fatih yang tiba-tiba dibelakangku ini mengejutkanku. Tak ada suara langkah kaki yang bisa kudengar saat ia tiba dibelakangku dan ini yang masih membuatku belum terbiasa.

"Aish, Mas!" kesalku.

"Loh kenapa?"

"Langkahnya disuarain aja kenapa sih? Aku kok belum terbiasa Mas tiba-tiba nongol dibelakangku!" Ia tak menjawab hanya tertawa dan memelukku dari belakang.

"Latian dong!" bisiknya sebelum bibirnya mampir di pipiku. Aku hanya tersenyum dengan responnya. Makin hari ia semakin berani menunjukkan sisi romantisnya, sangat berbeda saat kami sebelum menikah. Ia lebih terkesan dingin dan sulit tersentuh.

"Yok, makan dulu, Mas! Nanti selesai makan kita ke rumah Mbak Devina, ya!" kataku seraya mengambilkan piring.

"Nggak usah, Mas aja yang kerumah Bang Rifan, Yang. Kamu istirahat aja dirumah ya. Sambil siap-siap gitu," ujar Mas Fatih. Mas fatih lebih memilih menyebutkan nama suami Mbak Devina dibanding nama Mbak Devina sendiri. Kini ia menatapku dengan sorot mata yang berbeda seraya menaikkan alisnya beberapa kali.

"Hah? Nyiapin apa sih, Mas?" tanyaku yang masih belum paham.

"Mosok nggak paham kamu, biasanya langsung sinyal ijo deh, Yang!" jawabnya masih ditambah dengan kedipan matanya. Aku sepertinya mulai paham arah pembicaraan ini, namun aku hanya berusaha menahan tawa.

"Nggak usah kode-kode deh!" kesalku masih dengan menahan tawa.

"Oh gitu!" Aku hampir tersentak begitu tubuhku ditarik duduk dipangkuan Mas Fatih. Ia menatapku serius, tangannya memeluk pinggangku erat. Kalau sudah begini aku tahu apa maunya.

The FootpathsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang