Tradisi Para Bangsawan

59.9K 495 12
                                    


"A-aaaahh..."

"Aa-aah, hah, hah, hah... Sakiiiiiit!" Lenguhan panjang suaminya dan sesuatu yang mengalir masuk ke dalam tubuhnya adalah dua hal yang membuat Tarisa cepat-cepat melepaskan tautan tubuh mereka dan menyalurkan rasa sakit di perutnya yang sedari tadi ia tahan.

"Apa kontraksinya sudah semakin terasa?"

Tarisa mengangguk seraya menggigit bibirnya. Dalam keadaan telanjang bulat, perempuan itu refleks menungging dan mencengkram kepala ranjang erat-erat demi menyalurkan rasa sakit yang menjalari pinggangnya.

Rasa sakit itu kian menjadi-jadi seusai percintaan mereka yang entah keberapa kalinya hari ini.

Jemarinya yang putih dan panjang mengusap perut besarnya yang kini keras dan terlihat begitu turun dengan lembut. Berharap usapan itu mampu meredakan gerak menggila yang sibuk dikerjakan sang jabang bayi di dalam sana.

"Kau masih bisa menahannya, kan?"

Sekali lagi Tarisa mengangguk.

Dua kali melahirkan benih yang ditanam sang suami di rahimnya, perempuan cantik yang kini bermandikan peluh itu sudah tahu apa yang harus dilaluinya demi bisa menghantarkan buah cinta mereka ke dunia.

Ada tiga aturan tak tertulis yang harus dipatuhi Tarisa, sebagai istri dari bangsawan terkaya di negeri itu. Aturan ini dipatuhi oleh seluruh keluarga suaminya secara turun-menurun dan kini, Tarisa pun harus ikut mematuhinya.

Aturan pertama. Proses kelahiran bayi harus dijalani oleh kedua orangtua yang membuahi bayi tersebut. Tidak boleh ada campur tangan bidan, kecuali jika situasinya benar-benar mendesak.

Aturan kedua. Ketika bayi terasa mulai memasuki panggul, kedua orangtua bayi harus bercinta. Kegiatan ini dipercaya memperlancar jalan lahir, sekaligus mengingatkan pada sang bayi bahwa mereka diciptakan dengan penuh cinta dan pada proses kelahirannya pun, kedua orangtuanya juga menyambutnya dengan penuh cinta.

Aturan ketiga... Tarisa bergidik saat mengingatnya.

Aturan ketiga--ketika sang ibu merasa yakin bahwa bayinya siap dilahirkan, mereka harus mengelilingi kamar tempat tidur itu selama beberapa kali sampai sang ibu tak kuat lagi.

Dan di tempat itulah ia harus berjuang mengeluarkan cabang bayinya--entah di pinggir meja rias, di samping tempat tidur--di tempat manapun yang dipilih oleh bayi kecil mereka.

"Aah--sakiiiiit."

Tarisa menunduk dan mencengkram kepala ranjang semakin kuat saat kontraksi itu terasa lagi. Beruntung Revan, suaminya, dengan sigap memijit pinggang istrinya dengan gerakan pelan. "Kamu pasti bisa," bisik pria itu tepat di telinga wanitanya dan mengecupnya lembut.

Jemari besar pria itu turun untuk menyentuh perut buncit istrinya yang terasa jauh lebih keras dari terakhir kali ia mengelusnya. "Kurasa dia cukup besar."

"Pasti," gumam Tarisa dengan lelah seraya perlahan mencoba untuk kembali duduk seusai kontraksinya mereda. "Badannya sudah tidak muat di dalam rahimku."

Revan hanya bisa tertawa pelan dan mengecup puncak kepala istrinya yang tampak lelah itu. "Baguslah. Itu artinya dia benar-benar seperti Papanya yang tinggi."

Perdebatan tidak penting itu sedikit banyak cukup membantu Tarisa untuk mendistraksi rasa tidak nyaman di perutnya untuk beberapa menit.

Sampai ketika satu kontraksi datang dan saat itu Tarisa tahu bahwa bayinya sudah benar-benar dekat. "Kepalanya sudah hampir sampai," beritahu perempuan itu pada suaminya dengan suara bergetar. "Aku--aku akan melahirkan sebentar lagi."

Giving Birth [kumpulan cerita pendek]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang