Pohon Milik Keluarga Kaya Itu... (I)

4.3K 77 29
                                    


Sania sudah tahu hal ini buruk, sejak ibunya yang mata duitan itu mati-matian memaksanya menikah dengan lelaki yang bahkan namanya saja membuat Sania bergidik ngeri mendengarnya.

Praha Surgidja Susmulyo Soeryadiningrat.

Di kali pertama mendengarnya saja, Sania sudah tahu bahwa lelaki pemilik nama itu pastilah sugih—mungkin yang terkaya di desa ini. Dan dugaannya kali itu memang tak salah.

Tapi yang tak ia sangka adalah bahwa Praha ternyata seorang lelaki muda berusia dua puluhan—mungkin juga di awal tiga puluhan, yang tampan, kekar, dan... seharusnya tidak mungkin tidak mampu menemukan sendiri wanita yang dengan sukarela mau menjadi istrinya.

"Tapi kenapa dia harus menikahi aku, Bu?" Sania ingat ia sudah menanyakan ini kepada ibunya mungkin sebanyak sepuluh kali.

Dan jawaban yang ia terima selalu sama. "Ayahnya sekarang sudah turun tangan mencarikannya istri. Selama ini Praha itu sibuk main-main saja. Kebetulan kamu cantik, Ibu tawarkanlah ke mereka. Eh, mereka mau..."

Meskipun Sania tidak pernah mendapat jawaban saat bertanya kepada ibunya, darimana wanita itu mengenal ayah Praha yang begitu kaya dan hampir tidak pernah ada di rumahnya sendiri saking sibuknya?

"Mau kamu yang mandi dulu atau aku?"

Meski baru satu kali bertemu dengannya—dua kali ditambah hari ini, Sania sudah langsung hafal suara pria yang sekarang suaminya tersebut. Ia yang masih berusaha melepaskan semua atribut baju pengantin jawa di depan meja rias ini mencoba bersikap sebiasa mungkin dan menjawab lelaki itu dengan sopan. "Kamu dulu juga nggak apa-apa Mas."

"Ya sudah."

Ia lalu melihat tubuh tegap suaminya berjalan menjauh dari pantulan kaca meja rias, bergegas memasuki kamar mandi di dalam kamar mereka ini.

Masih sulit dibayangkan seorang sesempurna Praha kini menjadi suaminya. Lelaki itu begitu tampan, dan juga kaya. Di desa kecil ini, rumah Praha--yang sekarang ia tempati ini--adalah satu dari sedikit yang memilki kolam renang dan interior seperti di dalam foto-foto yang Sania sering lihat di internet.

Ia juga mendengar bahwa mereka pun akan punya asisten rumah tangga sendiri, empat orang wanita banyaknya. Sekalipun Sania sendiri tidak tahu, memangnya apa yang harus dikerjakan orang-orang kaya di rumahnya, hingga mereka perlu asisten rumah tangga sebanyak itu.

Sembari membersihkan sisa paes di wajahnya Sania tak berhenti bergumam pada dirinya sendiri, "apa kekurangan Mas Praha sampai wanita-wanita lain nggak mau jadi istrinya?"

Sania baru menemukan jawaban atas pertanyaan itu di atas ranjang pengantin mereka, di malam pertama saat Praha menggagahinya tanpa ampun.

"Aku mau anak yang banyak, San. Sebanyak yang kamu bisa." Praha menyampaikannya sembari terus menggenjot miliknya yang keras dan panjang ke dalam liang istrinya yang benar-benar sempit. "Aku pasti suka juga lihat kamu hamil dan melahirkan..."

Antara sadar dan tidak Sania mengiyakan permintaan itu. Mungkin Praha tahu, perawan seperti Sania tidak akan mungkin bisa berpikir jernih di saat seperti ini—dan tidak mungkin juga bisa menolaknya.

Dan memang betul adanya. Selain perintah itu, satu-satunya yang Sania ingat tentang malam pertama mereka adalah betapa ia menyerukan nama suaminya berkali-kali saat puncak kenikmatan itu menghantam tubuhnya yang mungil.

Tak pernah Sania tahu bahwa kenikmatan sejenis itu ternyata benar ada. Pantas saja orang-orang mau menikah, pikirnya keesokan paginya sembari membereskan sprei sisa pertempuran mereka semalam dengan pipi merah merekah. Perempuan itu bahkan tak protes meski ia kesulitan berjalan setelahnya.

Kenikmatan yang dihantarkan Praha padanya malam itu benar-benar memabukkan. Sama memabukkannya dengan yang diberikannya malam-malam setelahnya.

Semakin hari, Sania bahkan menduga para mbok yang bermalam di rumah mereka dan membantu semua aktivitas rumah tangga ini sudah mengetahui betapa perkasanya Praha.

Bukan hanya karena Sania segera mual-mual hebat dan dinyatakan hamil tak lama setelah mereka menikah, tapi juga karena Praha senang sekali menggagahi istrinya itu di manapun ia bernafsu melakukannya.

Di dapur, di taman belakang, ruang cuci, tangga, sofa ruang tamu... Benar-benar nyaris di semua tempat, kapanpun ia mau.

"Biar saja Mbok semua dengar," bisik Praha malam itu sembari mencengkram paha Sania dengan erat, dan mendorong miliknya masuk ke dalam liang istrinya yang kini tengah mencengkram meja dapur sembari mendesah keras. "Besok juga mereka pasti bisa lihat sisa permainan kita di sini."

"A-aku malu Mas," cicit Sania tersentak-sentak, meski ia juga tak bisa menolak ajakan suaminya untuk bercinta di dapur tengah malam buta begini. "Nanti---Mas, Mas, aku keluar lagi--ooohh..."

Praha terkekeh. Sania benar-benar jalang yang ia suka. Perempuan itu selalu kalah dengan kenikmatan yang ia berikan. Dan Praha sangat suka itu.

Ia selalu suka pemandangannya saat ini.

Sania, dengan perutnya yang membuncit—sepertinya sudah tujuh bulan lebih bila ia tidak salah menghitungnya—kini mengangkang lebar di atas meja kitchen dapur mereka, dengan tangan mencengkram pinggiran meja erat menyalurkan kenikmatan yang tak bisa ia sembunyikan itu. Desahan perempuan yang kini terpejam itu membuat Praha semakin bergairah.

Ia memindahkan salah satu tangan yang semula diletakannya di pinggang sang istri, menjadi ke perut buncit perempuan itu. Pergerakan di dalam sana ternyata juga sedang agak liar, membuat Praha semakin bernafsu menggenjot lebih cepat.

Derit kabinet di bawah meja dapur bersahut-sahutan dengan desahan kedua sejoli muda yang sedang dimabuk kabut nafsu tersebut.

Entah pukul berapa permainan malam itu berakhir. Yang Sania ingat keesokan paginya adalah ia harus tetap bangun subuh menyiapkan keperluan Praha sebelum lelaki itu berangkat ke kebun mereka.

"Uuuhh..."

Meringis, Sania mengelus perutnya dengan gerakan memutar sembari salah satu tangannya yang lain bertumpu pada pinggiran tiang ranjang.

Belakangan sering seperti ini setiap kali ia habis bercinta hebat dengan suaminya. Sepertinya bayi di dalam kandungannya mulai berani protes, karena jam tidurnya semalam diganggu dengan guncangan keras yang membuatnya jadi tak bisa terlelap dengan nyenyak.

Sania berusaha seminim mungkin bersuara. Praha pasti tak akan suka mendengarnya. Ia menggigit bibirnya sampai ringisan kecilnya tidak lagi terdengar, sebelum kemudian berjalan pelan keluar dari kamar sembari menggelung rambutnya asal.

Sembari menuruni tangga menuju dapur dengan satu tangan tertumpu di pinggangnya yang mulai sering terasa sakit, Sania mulai berpikir.

Jika saat ini saja rasa mulas di perutnya sudah mulai terasa mengganggu, akan seperti apakah rasa sakitnya saat nanti ia harus melahirkan?

Terlebih, Praha sudah berpesan kepadanya, ia harus melahirkan di rumah ini, di depan pohon besar di taman belakang rumah mereka dengan hanya dibantu seorang mbok.

Darah dan ketuban Sania harus menetes mengenai tanah di sekitar pepohonan itu, dan bayinya kelak harus menyentuh tanah pepohonan tempat ia dilahirkan tersebut, segera setelah ia keluar dari rahim ibunya.

Perlu beberapa bulan berikutnya bagi Sania untuk tahu bahwa semua yang akan terjadi tidaklah sesederhana yang ia bayangkan.

to be continued...

Hi, anyone yang masih masukin cerita ini ke librarynya? Hahaha let me know doong!

And also--kalau boleh, I'd really love hearing your weirdest birth story fantasies (yang masih masuk akal ya!). Mungkin bakal aku buatin kalau lagi memungkinkan.

Hints : I like it in the traditional-Indonesian way more! :p

Thank you so much! part 2 aku post kapan enaknya niiih?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Giving Birth [kumpulan cerita pendek]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang