Rahasia Keluarga Syalendra (I)

41.9K 434 15
                                    


"Sudah siap?"

Rania tidak tahu untuk apa pertanyaan itu--karena ia yakin suaminya pasti akan tetap menghunjamnya dengan penis lelaki itu sekalipun Rania menggeleng--. Tetes demi tetes air mata sudah mengalir membasahi pipinya ketika perempuan itu mengangguk. "Y-ya."

"Tapi pahamu belum terbuka selebar biasa. Apa ada yang salah?"

Dalam posisi menungging seperti ini Rania memang tidak bisa melihat bagaimana ekspresi suaminya dalam mengatakan hal itu. Tapi dari nada suaranya, ia tahu bahwa pertanyaan itu bermakna tidak baik.

"Kenapa diam? Hm?"

"S-sakit, Mas," akunya jujur dengan suara bergetar. "Perutku--aku rasa sudah mulai kontraksi."

"Ah... Sudah dekat HPL, kan?"

Dan tidak sampai dua hitungan setelahnya, Rania memekik saat merasakan pahanya malah dibuka semakin lebar oleh suaminya. Setelahnya, ia mendengar bunyi retsleting dibuka dan ikat pinggang yang dilonggarkan.

Saat itu satu tetes air mata mengalir lagi membasahi pelupuknya.

Di atas tempat tidur kamarnya malam ini, dengan posisi menungging yang membuat rasa mulas di perutnya semakin menjadi, Rania hanya bisa merintih saat Rai--suami yang dijodohkan sang ibu yang mata duitan kepadanya--mulai melesakkan kejantanannya yang besar dan keras ke dalam liang Rania, sebelum menghentaknya kuat-kuat tanpa permisi.

Persis seperti yang selalu dilakukan pria itu padanya selama ini, terutama semenjak kandungan Rania menginjak trimester ketiga dan perutnya yang semakin bulat membuat hasrat Rai semakin menjadi-jadi pada istrinya yang ranum itu.

"M-mas, ampun Mas..." Rania terisak dan tanpa sadar mencengkram seprei ranjang. "M--mulashhh..."

"Kamu akan suka, Sayang." Rai terengah ketika dengan kasar ia menghunjamkan miliknya semakin dalam di tubuh istrinya. "Ini induksi alami juga kok."

Nada suara lelaki yang hanya lima tahun lebih tua darinya itu memang tidak membuat Rania takut. Tapi tetap saja, kombinasi antara kerasnya hunjaman Rai di bawah sana bersamaan dengan tendangan kasar janinnya yang berpadu bersama rasa mulas membuat Rania terisak semakin keras.

"Jangan menangis," sentak Rai dengan geraman halus. "Anak kita juga pasti suka didatangi ayahnya setiap malam."

Rania tidak tahu harus menjawab dengan apa selain isakannya. Ia begitu takut untuk melawan, ketika mengingat bahwa satu bulan lalu, saat Rania terang-terangan mengakui bahwa perutnya sedang tidak enak, Rai malah menghunjamnya semakin kasar dan mengikat kedua tangannya di kepala ranjang.

Tidak seperti hari-hari sebelumnya dimana setidaknya Rania masih bisa merasakan kenikmatan karena persenggamaan itu. Hari ini, tidak sedikitpun gelombang gairah itu mendatangi Rania. Yang ada hanya rasa mulas, nyeri dan tidak nyaman yang berputar-putar di sekujur tubuhnya.

Perempuan itu masih bertahan sampai ketika ia merasa penis suaminya mulai menggembung dan kian memenuhi liangnya yang terasa perih. Dengan air mata yang terus mengalir Rania mengharap-harap cemas, semoga pria itu cepat mencapai puncaknya karena ia semakin tak kuat menahan semua siksaan itu.

"Aaaaaahhhhhh..." Rai memejamkan mata saat rasa nikmat itu akhirnya menggulungnya seperti ombak. Pria itu meredakan napasnya selama beberapa saat, sebelum kemudian menatap istrinya yang tubuhnya masih bergetar dan berkata, "Kamu memang nikmat, Nia."

"T-tolong lepaskan, Mas..." rintih Rania dengan napas tersengal. Entah sejak kapan ia telah mencengkram seprei seerat itu--sebagai satu-satunya penyalur kesakitan yang bisa dijangkau Rania--.

Giving Birth [kumpulan cerita pendek]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang