“Uuuhhh…”
Rania mengelus perutnya dengan kasar. Dorongan buang air besar itu kian menjadi-jadi. Kini diiringi rasa nyeri pada pinggangnya yang seolah nyaris patah.
Sepertinya sudah cukup lama menit berlalu sejak terakhir kali Rai pamit kepadanya, katanya untuk mempersiapkan tempat bayi mereka akan dilahirkan.
“Jangan mengejan sebelum aku kembali.” Rania masih mengingat jelas perintah pria itu. “Aku nggak akan lama, jadi tahan dulu sebentar.”
“Mmmhhhh…”
Wanita itu menggigit bibirnya sendiri dan mencengkram tiang bagian bawah pull up bar tadi yang masih bisa diraih jemarinya.
Rai memang meninggalkannya di sini dalam posisi berbaring. Lelaki itu mungkin sudah kasihan melihat Rania yang tampak kian kesakitan ketika tadi ia meninggalkannya.
Wajar saja. Setelah ketubannya pecah, tubuh Rania rasanya semakin sulit ia kendalikan. Napasnya yang tadinya masih beraturan kini sudah sedikit berantakan.
‘Lama sekali,’ pikirnya dalam hati setelah kontraksinya akhirnya mereda. ‘Mas Rai… Ke mana?’
Pertanyaan Rania itu terjawab beberapa menit kemudian, ketika Rai akhirnya kembali dan mendapati Rania yang tengah memejamkan mata, melenguh dan mengelus perutnya dengan gerakan memutar.
“Uhhhmmmm…”
“Jangan mendesah begitu,” sentak Rai dengan geraman pelan yang sontak mengejutkan istrinya. “Sini, ikut aku.”
“Ke mana?”
Rai hanya menggeleng. Ia membantu Rania berdiri--meski harus menghela napas berkali-kali untuk meredakan nafsunya tatkala mendengar wanita itu melenguh kesakitan--lalu menuntunnya berjalan.
“Harus jalan banget, Mas?” Suara lirih Rania membuat Rai menoleh sekilas.
Istrinya itu tampak kian kelelahan. Bibirnya mulai pucat dan tangannya tak berhenti mengelus perutnya yang semakin turun itu. Tapi Rai tetap yakin Rania bisa melalui semua ini.
Harusnya demikian.
“Ke kamar,” sahutnya dengan gumaman. “Kamar di dekat ruang tamu.”
“Yang udah lama nggak kita pakai itu?” Rania menahan dirinya untuk tidak mengatakan secara gamblang, bahwa kamar yang dimaksud Rai kemungkinan besar adalah sebuah kamar tempat lelaki itu dulu dengan gila menyetubuhinya hingga ia dinyatakan mengandung.
Anggukan yang meluncur begitu saja dari wajah Rai membuat Rania bergidik.
“K-kita ngapain?” Cicitan Rania yang terdengar takut itu hanya membuat Rai tersenyum.
Lelaki itu menunduk untuk menatap mata istrinya yang tampak sayu. “Nanti juga kamu tahu.”
Dan Rania lekas memahami bahwa jawaban itu berarti tidak boleh ada lagi pertanyaan yang ia ajukan.
Keduanya berjalan dengan cukup perlahan. Sesekali Rania harus berhenti berjalan dan meremas lengan kekar Rai erat-erat, ketika kontraksi datang menghantam dan ia tidak bisa melakukan apapun selain melenguh dan terisak.
Di setiap kontraksi yang datang, Rania bersumpah ia bisa merasakan kepala bayinya semakin mendesak jalur lahir sang ibu dan kenyataan itu membuatnya gusar.
Bagaimana Rai akan membiarkannya melahirkan bayi ini?
Pertanyaan itu menggantung begitu saja dalam hatinya. Sampai ketika Rai membuka pintu kamar yang dimaksud dan di sana Rania tak bisa menahan keterkejutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Giving Birth [kumpulan cerita pendek]
Short Storycomplexions of how women naturally give birth to their children. [a 18+ sensitive, mature and might be disturbing content.] Warning : Might not be enjoyable to some people and that's totally okay. You pick up your own reading list & you are the only...