BAGIAN SATU

20 2 0
                                    

(POV 3)

Cahaya matahari mulai mengintip dengan malu-malu dari celah tirai penutup jendela kamar megah bernuansa Aestethic. Namun, Rene masih tetap terbuai dengan bunga tidurnya, bukannya bangun saat terganggu cahaya ia malah semakin menaikkan selimutnya sebatas dada dan menutup wajahnya dengan bantal guling yang berada dalam pelukannya.

Triiingg tringg tringgg...

Suara alarm yang berbunyi sejak 30 menit yang lalu ternyata tak membuat Rene terbangun dari tidur lelapnya. Padahal Ibunya pun sudah sejak tadi mengomel tidak jelas di dapur karena tak kunjung melihat anak laki-lakinya itu keluar dari kamar tidurnya.

"Reneee udah jam berapa nih? Hari ini kan kamu ada kuliah pagi. Gimana sih. Makanya kalau malem tuh tidur jangan maen Playstation mulu!"

Mendengar gedoran pintu kamarnya dari luar, ia secara spontan terbangun dan melihat jam yang ada di handphone nya.

Rene merupakan mahasiswa di salah satu Universitas Swasta di Provinsi Banten. Dia memiliki jiwa dan pemikiran sosialis yang ia adopsi dari buku-buku karya Karl Marx, Paulo Freire dan Tan Malaka yang begitu membenci koruptor, kapitalis dan segala hal tentang kemunafikan yang terjadi di kampus, daerah hingga negara.

**

"Ya Tuhan, gue telat."

Rene melajukan sepeda motor keluar dari garasi rumah, kuliah pagi adalah perjuangan yang berat baginya. Tapi kewajiban untuk mengikuti setiap perkuliahan membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk bangun pagi.

Terlebih Pak Siswanto, dosen yang pagi itu mengajar juga sudah memberi peringatan kepada Rene karena dianggap terlalu banyak aktifitas diluar perkuliahan bahkan memberikan ancaman secara terbuka di depan teman sekelasnya karena sering terlambat bahkan absen dari perkuliahan hanya demi aktifitas kampus.

Seusai tiba parkiran kampus, dengan sigap dia langsung berlari menuju gerbang lobby kampus sambil terus bergumam pada diri sendiri.

"Mampus.... Mampuuusss.... Gue telat...." gumamnya.

Rene berlari menyusuri jalan kampus sambil sesekali menerima sapaan kawan-kawan yang memberikan lambaian salam hangat. Itu sudah menjadi kebiasaannya jika sedang berada di kampus atau bahkan ketika sedang asyik nongkrong di kedai langgananya. Rene hanya bisa memberikan lambaian tangan atau kode dengan menunjuk jam tangan.

Di depan lift kampus, sesekali ia membuka buku. Memeriksa apakah ada yang tertinggal ataukah ada yang kurang.

Tak sadar, saat pintu lift terbuka. Matanya terinterupsi oleh sosok perempuan yang manis, mungil, dengan bibir tipis dan hidung yang minimalis.

"Mau masuk, Ren?" Perempuan itu mencoba menyadarkan Rene yang sejenak tertegun.

"Eh... I.. Iya, maaf." Ucap Rene mencoba menyadarkan diri.

Rene memasuki lift. Saat akan menyentuh tombol tutup. Tanpa sengaja sosok yang sejenak menginterupsi Rene itu juga menyentuh tombol tutup. Jarinya saling bersentuhan membuat mereka sama-sama terkejut dan saling meminta maaf seraya memencet tombol lantai 5.

Pintu lift terbingkai kaca. Tapi justru itu yang membuat jantungnya bergejolak. Jarak lantai dasar hingga lantai 5 seharusnya sangat dekat dan cepat, tapi kali ini tidak biasa. Pergerakan lift terasa sangat lambat dan membuat Rene semakin salah tingkah, sesekali matanya tertuju pada sosok disampingnya. Matanya berkali-kali melirik melihatnya dari kaca depan. Perempuan itu tergambar jelas di kaca pintu lift.

Selama Rene di kampus, rasanya baru kali ini ia melihat perempuan itu. Mungkin karena sosok perempuan mungil yang berdiri disampingnya membuat Rene berfikir kehilangan satu sosok yang mencuri perhatiannya saat itu diantara ribuan mahasiswa. Pikiranya terus melayang tak tentu arah dan dadanya semakin berdegub kencang tanpa memahami apa yang sedang terjadi.

Jejak langkah ReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang