The Veils - Bab 1

6.4K 347 25
                                    

Lelaki itu menghentikan jemarinya yang tengah mengetik dengan lincah. Padahal, sebelumnya dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa dia sedang dibanjiri inspirasi. Dia akan segera tahu bahwa ada hal yang lebih buruk daripada kehilangan inspirasi yang tidak bertahan lama di dalam kepala. Sebuah garis muncul secara perlahan namun pasti di lingkar lehernya. Garis itu berwarna merah. Semakin lama semakin jelas, warna merah itu berasal dari darah yang mengalir di pembuluh nadi dan vena dalam tubuhnya.

Lelaki itu belum siap kehilangan kepalanya yang penuh ide dan rahasia. Namun, seorang perempuan yang berdiri di belakangnya sudah tak sabar untuk segera menuntaskan misi memenggal kepala lelaki itu dengan golok yang diasahnya setiap hari selama seminggu belakangan ini. Darah segar berhamburan. Lelaki itu sempat berteriak sebelum kepala terlepas dari tubuhnya lalu menggelinding di lantai.

Dengan sebagaian wajah yang terciprat darah, perempuan itu tersenyum puas. Ternyata, memenggal kepala seseorang jauh lebih mudah ketimbang menuliskan cerita tentang pembunuhan dengan cara yang paling sederhana, pikirnya. Ia menghela napas lega. Saingan terberatnya baru saja kehilangan kepala. Buru-buru, ia mengambil kepala itu dan memasukkannya ke dalam wadah yang sudah ia persiapkan. Tak hanya wadah, ia pun sudah mempersiapkan banyak hal di rumahnya, termasuk bagaimana cara mengambil ide dan inspirasi dari dalam kepala si lelaki.

Usai memasukkan kepala itu ke dalam wadah sebesar termos es, ia bergegas pulang. Namun, tak lama setelah ia berbalik, sesuatu muncul di hadapannya. Sesosok makhluk besar dan mengerikan dengan mata merah dan mulut menganga lebar memamerkan gigi-gigi taring yang sangat tajam....

“AAA!!!” Teriakan Ami di sebelahku jauh lebih mengejutkan daripada jeritan si perempuan dalam layar lebar di depan sana. Seisi bioskop pun kompak berteriak.

Valdy terkekeh mengejek, dan tentunya tak menyia-nyiakan kesempatan dari situasi ini. Sebelah tangannya memeluk Ami, dan sebelahnya lagi mengelus-elus rambutnya. Pemandangan seperti ini tak lagi menggangguku. Setahun kemarin, aku menghabiskan belasan kali kesempatan menonton film di bioskop bersama pasangan kekasih ini. Jujur saja, pada awalnya aku sempat memendam rasa iri. Namun, lama-lama perasaan itu hilang sendiri. Tapi terkadang datang lagi. Yah, Ami bilang, itu disebut sebagai Derita Seorang Jomblo yang Harus Disikapi dengan Lapang Dada.

“Hei,” sapa suara seseorang di sebelahku, di sisi yang berbeda. Bisikannya pelan, namun menghanyutkan. Nada suaranya mampu menenggelamkan hatiku dalam perasaan senang sekaligus deg-degan.

“Ya?” Aku balas berbisik setelah berpaling dari pasangan Ami-Valdy ke seseorang berwajah tampan dan manis yang hanya akan kalian temui di film-film romantis. Tezar. Dia menatapku dengan sepasang matanya yang tajam sekaligus lembut, dengan senyum manis nan menggetarkan hati. Ya ampun, aku lebay banget, ya? Tapi beneran, dalam gelap sekalipun, wajah Tezar masih tetap terlihat tampan dan memesona.

“Ngapain kamu ngeliatin mereka?”

Kurasakan tangannya menggenggam tanganku, lalu mencari-cari celah jemariku dan mengisinya dengan jemarinya yang tebal dan hangat. Sesaat, aku ingin melepaskan genggaman itu karena belum terbiasa. Betapapun, ini adalah kencan pertama kami, setelah dua minggu resmi berpacaran dan hanya mengobrol di sekolah atau dalam perjalanan pulang. Ya ampun, aku baru ingat kalau sekarang aku punya pacar. Aku tak perlu lagi merasa iri pada Ami. Kini, aku punya seseorang yang tangannya bisa kugenggam dan bahunya bisa kujadikan sandaran saat menonton film di bioskop.

“Ng... a-anu...,” jawabku, terbata. Genggaman tangan Tezar melipatgandakan kecepatan detak jantungku. “Tadi, kirain, asma-nya Ami kambuh....”

“Nggak perlu khawatir. Kan ada Valdy.”

“I-iya,” aku mengangguk kaku. “Lanjut nonton, yuk!”

Kami pun lanjut menonton film berjudul “The Plagiator” itu sambil berpegangan tangan. Sore ini, hampir semua studio menayangkan film bergenre thriller dan horror. Hanya ada satu studio yang menayangkan film komedi romantis. Namun, setelah mempertimbangkan banyak hal, kami berempat sepakat memilih “The Plagiator”. Kupikir, film ini nggak bakal serem-serem amat. Ternyata dugaanku salah. Banyak adegan mengerikan dan menjijikan di dalamnya. Mau aku ceritakan? Nggak usah, ya. Tapi, anehnya, aku nggak ketakutan kayak waktu menonton film “Red Velvet Night”. Apa mungkin karena ada Tezar di sampingku?

The VeilsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang