The Veils - Bab 5

3.8K 328 80
                                    


Kenapa aku harus menjauhi Tezar?

Pertanyaan itu terus menghantuiku, dan terdengar lebih mengerikan daripada cerita-cerita hantu yang kudengarkan di radio setiap Kamis malam. Semalaman aku tak bisa tidur. Otakku tak bisa berhenti memikirkan segala kemungkinan tentang Tezar dari yang buruk hingga yang terburuk.

Tezar adalah seorang fampir atau sejenis manusia serigala yang menginginkan darah suci seorang gadis yang belum pernah berpacaran. Ah, tapi kayaknya nggak mungkin. Buktinya, aku bisa melihat bayangan dia di cermin, gerak-geriknya pun terlihat selayak manusia normal, bola matanya tetap cokelat gelap bukannya merah, dan gigi-geliginya putih dan rapi tanpa taring runcing berdarah. Gaya bicaranya juga wajar, nggak mendesah-desah sok misterius kayak si tokoh utama cowok di sinetron Ganteng-Ganteng Semriwing. Jangan salah sangka. Aku bukan fans sinetron itu. Beneran. Aku hanya pernah menonton sekali. Iya deh, dua kali. Oke, sebenernya sih, empat kali. Tapi itu beneran nggak sengaja. Dan tolong jangan sebut aku sebagai cewek korban sinetron.

Tezar adalah hantu atau mungkin mayat hidup yang bertindak-tanduk seperti manusia. Tapi kalau dia adalah hantu, mustahil semua siswa dan guru di sekolah kami bisa melihatnya, bahkan dia terpilih sebagai calon ketua OSIS. Mungkinkah dia adalah hantu sakti yang mampu mengubah wujudnya menjadi manusia biasa dengan tujuan yang sangat jahat?

Tezar adalah Utusan Iblis.

Tezar adalah Malaikat Kegelapan.

Tezar adalah penganut Ilumati.

Tezar adalah Dajjal.

Astaga! Pikiranku melantur ke mana-mana. Betapapun, aku tak bisa mengabaikan SMS itu begitu saja. Sejail-jailnya orang, dia nggak bakal seniat itu meng-SMS sampai tiga belas kali. Seperti yang sempat kupikirkan, tujuan SMS itu bisa jadi peringatan atau ancaman. Jika itu memang sebuah peringatan, lantas siapa kemungkinan orang yang akan melakukannya? Sahabat terdekatku adalah Ami, dan kurasa ia takkan mungkin melakukannya. Sebab, ia selalu lebih berpihak kepada Tezar dan kerap membelanya setiap kali aku mengungkapkan kecurigaan terhadap cowok itu. Lalu, siapa lagi orang yang peduli kepadaku sampai harus memperingatkanku? Dan jika SMS itu merupakan sebuah ancaman, ada satu kemungkinan nama yang kupikrikan. Shila.

Kemudian muncul pertanyaan baru: kenapa Shila harus melakukannya? Memangnya, ada hubungan apa di antara Shila dengan Tezar? Apakah Shila memiliki perasaan spesial terhadap Tezar? Ataukah ada sebab lain? Kemungkinan paling dangkal namun cukup masuk akal adalah, bahwa Shila menyukai Tezar, dan ia tak suka melihat hubunganku berkembang baik dengan Tezar. Tapi, aku pun lekas menyadari bahwa aku tak boleh menuduh Shila hanya karena asumsi. Setidaknya, sampai aku menemukan bukti.

Pagi ini, Tezar menjemputku. Semua hal yang kulihat dari dirinya tak ada yang patut kucurigai. Tatapannya, senyumannya, sapaannya, sikapnya, tutur katanya... segalanya tampak sempurna. Tanpa cela. Seperti hari-hari sebelumnya. Jadi, kurasa, kemungkinan-kemungkinan buruk dan terburuk yang kukhawatirkan itu agak mustahil. Dan kemungkinan paling dangkal itu justru yang paling masuk akal. Di luar sana, pastinya ada banyak cewek yang menginginkan posisiku di samping Tezar. Entah itu Shila. Entah itu siapa saja.

Saat aku sedang menunggu Ami di kelas untuk menceritakan SMS misterius itu, Damar menghampiriku. Dia berdiri di sebelah kiriku. Tangannya mengangsurkan sesuatu kepadaku dengan sedikit gemetar. Ternyata, itu adalah sekotak susu rasa cokelat. Aku bertanya lewat tatapan, dan Damar menjawab, “Terima kasih buat yang kemarin.”

Kutatap sekotak susu rasa cokelat itu sesaat sebelum kupandangi wajahnya yang masih ditinggali jejak-jejak luka misterius. “Bukan apa-apa. Gue justru minta maaf kalau kelakuan gue kemarin malah bikin elo ditimpa kesulitan yang lebih berat.”

The VeilsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang