The Veils - Bab 2

3.5K 287 18
                                    


“Ya.... Taya....” Suara itu datang bersama kesadaranku yang pulih secara perlahan. Kepalaku sedikit pening, dan pandanganku agak buram. Apa yang terjadi? Di mana aku saat ini?

Bau aromatherapy. Oh, rupanya, aku berada di dalam mobil Tezar.

Sebentar.

Aku berusaha berpikir cepat merunut kejadian demi kejadian sampai aku tersadar barusan. Syukurnya, otakku masih berfungsi sebagai mana mestinya.

“Tezar? Kamu...?” Dalam ingatan terakhirku, Tezar keluar dari mobil untuk mengecek mesinnya. Aku menunggunya di dalam, dan dia tak kunjung kelihatan. Saat aku ke luar dan memastikan apa yang sedang Tezar lakukan, aku tak menemukan siapa-siapa di depan kap mobil yang terbuka itu. Kemudian... kemudian... sesuatu muncul secara tiba-tiba dan membuatku terkejut setengah mati. Setelah itu, aku tak mampu mengingat apa-apa lagi.

“Aku? Aku kenapa?” Tezar menatapku dengan wajah bingung dalam mode cool. Kemampuan berekspresi seperti itu hanya dimiliki cowok keren seperti dirinya. Tapi sekarang masalahnya bukan seberapa kerennya seorang Tezar, melainkan apa yang terjadi setelah aku tak mampu mengingat apa-apa lagi.

“Tadi... tadi kamu... nggak ada....” Tanganku refleks menunjuk ke depan, dan kini kap mobil itu sudah tertutup. Mobil yang kami tumpangi pun sudah kembali melaju di jalanan yang familier dan terang benderang. Jalanan menuju kompleks tempatku tinggal. Aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya telah terjadi?

“Sayang, kamu mimpi, ya?”

Sayang? Tezar memanggilku ‘sayang’? Ini adalah kali pertama dia menyebut kata itu sejak kami resmi berpacaran. Seharusnya aku senang. Tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. “Mimpi?”

Tezar mengangguk. “Kamu capek banget ya, hari ini? Waktu kita lagi kejebak macet, aku ngajak kamu ngobrol. Udah panjang-panjang, eh taunya kamu malah tidur. Jadi, aku bengong sendirian, sambil nunggu kamu bangun.”

Punggungku menegang. “Kamu yakin, tadi aku tidur... dan kita... kita nggak lewat jalanan sepi dan gelap... lalu... mobil kamu mogok...?”

“Ya, kita mengalami semua itu, tapi dalam mimpi kamu.” Tezar tertawa.

Nggak mungkin. Aku nggak mungkin tertidur dan bermimpi. Semua kejadian itu benar-benar nyata. Kuperhatikan tangan Tezar dengan saksama. Bersih. Tanpa noda oli atau apa pun. Dia bahkan tidak berkeringat.

“Tadi kamu mimpi apa, Sayang? Bangun-bangun kok jadi kayak orang linglung begini?”

Aku bergeming. Rasanya aneh banget. Kalau kuceritakan mimpiku—maksduku, kejadian di jalanan sepi dan gelap itu, Tezar pasti akan menertawakanku lagi dan mengatakan semua itu hanya mimpi. Tapi, kalau aku diam saja, aku akan dihantui rasa penasaran.

“Makanya, kalau nonton film tuh jangan terlalu serius. Apalagi film sadis dan serem gitu.”

Ya, kemungkinan itu yang paling masuk akal. Meskipun, aku masih sulit percaya bahwa kejadian itu hanya mimpi. Tapi... baiklah. Kuharap, itu memang benar-benar mimpi. Aku pun tak ingin benar-benar mengalami kejadian mendebarkan itu. Meski sebatas terjebak mogok di jalanan yang sepi dan gelap lalu dikejutkan sesuatu sampai aku pingsan, pengalaman itu adalah kenangan buruk yang akan mengusik hidupku. Dan sebuah kenangan buruk jauh lebih mengerikan daripada sekadar mimpi buruk.

“Udah sampai.” Tezar memberitahuku. “Jam sembilan lewat... satu menit,” lanjutnya, sambil menatap jam tangan. “Empat menit lebih awal dari batas keterlambatan kita.”

Sesaat aku berpikir. Kata-kata Tezar soal paling telat kami akan tiba di depan rumahku pada pukul sembilan lewat lima menit itu berarti bukan mimpi. Aku ingat, saat itu, jalanan belum macet, dan Tezar pun masih bisa ngebut.

The VeilsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang