The Veils - Bab 4

3.2K 301 20
                                    

“Kok diem aja?” Tezar bertanya dengan suara plus tatapan tajam tapi lembut yang disempurnakan senyum manisnya, seolah tak ada hal yang perlu dia jelaskan tentang hari kemarin.

Kusesap es teh manis dalam-dalam, kemudian balas bertanya, “Gimana rapatnya kemarin?”

“Ya kayak rapat-rapat pada umumnya.” Tezar menahan kata-katanya sebentar untuk membasahi kerongkongannya dengan cappuccino dingin. “Tapi cukup seru sih, soalnya sebagian besar anak OSIS di sana temen-temenku.”

Jawaban Tezar membuatku menatapnya dengan nanar. Aku mencari-cari celah kebohongan di balik wajah cool dan raut penuh percaya dirinya itu. Entahlah. Aku sama sekali tak bisa membedakan seperti apa ekspresi wajahnya saat sedang berkata jujur dan berbohong. Kata-kata tadi pun diucapkannya dengan begitu lancar.

“Ooh....” Aku mengangguk, berusaha bersikap percaya. Sejujurnya, aku tak bisa memercayainya begitu saja, dan sulit bagiku untuk berpura-pura percaya. Tetapi, seperti yang dikatakan Ami di sela-sela jam pelajaran Sejarah sebelum istirahat tadi, aku pun tak boleh percaya begitu saja terhadap kata-kata Shila soal tak ada rapat kemarin siang. Bisa jadi rapatnya memang dilakukan di tempat lain, atau mungkin sudah berakhir sebelum aku bertanya kepada Shila. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah bertanya dan mendengarkan jawaban-jawaban langsung dari Tezar. “Kamu pasti sibuk banget ya, sampai nggak baca BBM-ku?”

“Hah? Emangnya kamu kirim BBM?” Tezar mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Perlu waktu beberapa detik baginya untuk sekadar mengecek BBM. Ya, sejak hari pertama kami dekat, kulihat, Tezar bukanlah tipe orang yang diperbudak ponsel. Maksudku, dalam suasana normal, dia hanya akan mengecek ponsel saat ada getaran atau bunyi notifikasi. Dan ketika kami sedang berbincang-bincang, dia jarang memegang ponsel. Mungkin, itu juga yang terjadi saat dia sedang bersama teman-temannya. “Liat, nggak ada BBM dari kamu,” ujar Tezar memberi tahu sambil menunjukkan ponselnya kepadaku.

“Nggak mungkin!” Aku buru-buru meraihnya. Chatting BBM terakhir di antara kami yang tertera di ponselnya adalah saat Tezar menjemputku kemarin pagi. Jika memang Tezar sengaja menghapus riwayat pembicaraan BBM kami, seharusnya kolom chatting itu kosong sama sekali. Sebab, berbeda dengan aplikasi Line, kita tak bisa menghapus sebagian pesan di aplikasi BBM. “Aku beneran nge-BBM kamu kemarin, Zar!” Maka, aku pun menunjukkan barang bukti di ponselku. Pesan-pesan yang berisi pertanyaan sedang apa dan di mana itu masih berstatus ‘D’ di ponselku.

“Aneh...,” komentar Tezar sambil mengamati ponselku. “Coba aku ketik BBM ngasal ya, terkirim atau enggak.” Dan beberapa saat kemudian, pesan tersebut tiba di ponselnya. Tanda ‘D’ di layar ponselku pun berubah menjadi ‘R’, termasuk pesan yang kemarin. Namun anehnya, pesan kemarin tak sampai ke ponselnya. “Beneran aneh. Selain BBM, kamu nge-chat aku di mana lagi? Atau, kamu nge-SMS aku?”

Aku menggeleng. “Cuma BBM.” Tezar mengembuskan napas, dan aku pun melakukan hal yang sama. Menyadari kebodohanku. Kenapa aku hanya mengiriminya pesan di BBM?! Bodoh. Ya, memang. Selama ini, kami selalu berkomunikasi via BBM. Itu pun dalam intensitas yang jarang. Kami lebih sering bertemu dan berbincang secara langsung, setelah itu merasa tak cukup perlu berkirim pesan via BBM lagi. Asumsiku, jika BBM saja tidak dibaca, pesan dalam bentuk lain pun tak mungkin dibaca Tezar yang—mungkin saja memang benar-benar—sedang sibuk.

“Taya Sayang, lain kali kalau kirim pesan ke BBM dan nggak aku baca atau aku bales, kamu coba whatsapp-in aku atau chat aku di Line, atau telpon aku aja. BBM ini emang kadang suka error dan menyebabkan perpecahan antarbangsa dan negara,” papar Tezar panjang lebar dan sedikit lebay, tanpa terdengar seperti sedang mencari pembenaran. “Kemarin, aku emang lumayan sibuk ngerjain dan ngurusin ini-itu. Aku udah seneng banget rapat OSIS-nya dimajuin setengah jam sebelum bel pulang. Jadi, kami emang dapet surat dispensasi buat ninggalin kelas lebih awal dan ngehadirin rapat di ruang OSIS.”

The VeilsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang