"DIBAYANG RITUAL ADAT"

1 0 0
                                    


Karil pun selesai menceritakan pengalaman horror nya. "Gimana, ngerikan cerita horror ku pasti kalian jadi takut" ucap Karil.

"Gak juga sih itu masih biasa aja" jawab Andan

"Iya, kan kalian cuman dengar suara-suara nya gak liat hantu nya" ucap saya.

"Dah kalian diam, sekarang giliran ku untuk cerita pengalaman horror ku." Ucap Andan!!

Jadi ceritanya, saya senang sekali melihat acara – acara adat, ada satu acara adat yang menurut saya menakutkan dan memacu adrenalin, yakni Ritual Tatung. Singkat cerita saat itu awal februari setahun yang lalu saya pergi ke Singkawang. Untuk melihat perayaan Cap Go Meh yang terkenal akan ke unikannya. Sampai lah aku di Singkawang saat aku pergi Bersama seorang teman ku. Kami pun langsung bergegas ke kampung adat Tionghoa yang tidak jauh dari pusat kota. Hari itu adalah sehari sebelum puncak perayaan Cap Go Meh sehingga kami berharap bisa melihat kesibukan masyarakat untuk mempersiapakan ritual mereka keesokan harinya.

Namun saat sampai di sana, kampung yang berada di dalam gang kecil itu terlihat lengang. Yang terlihat di sisi jalan hanyalah peralatan-peralatan dan kostum yang akan warga kampung kenakan saat pawai dan ritual esoknya. Bukan Cuma satu dua, melainkan banyak sekali peralatannya. Dan, sukses bikin bulu kuduk berdiri.

"Kenapa. Mbak Andan? Tengkorak-tengkoraknya banyak sekali, ya?" tanya Datuk Kurata, ketua adat yang menyambut kehadiran kami dan tampak memperhatikan raut muka ku yang berubah saat melihat tandu-tandu di depan rumahnya ada tandu dengan foto di depan rumahnya. Ada tandu dengan foto di tengahnya dan berhiaskan tengkorak kecil serupa kepala manusia, gigi-gigi, babi hutan, sesajen, dan berbotol-botol bir. Ada juga tandu yang bentuknya agak berbeda, tapi tetap menyeramkan dengan kursi di tengahnya dan bertebaran paku-paku serta padang-padang besar yang terlihat sudah diasah.

"Tandu yang penuh tengkorak itu untuk persembahan kepada roh leluhur. Kalau yang penuh paku itu untuk ritual Tantung. Besok kita pawai keliling kota pakai itu semua," terang Datuk Kurata.

"Hmmm... itu tengkorak si... apa? Tanya saya ragu.

"Tengkorak monyet, Mbak. Bukan manusia, kok," jawab Datuk seolah tahu pikiran saya.

Saya tidak menyangka peralatan ritual ini akan sebanyak, seheboh, dan semengerikan itu. Tetapi, setelah diceritakan lebih lanjut oleh Datuk tentang ritual Tatung ini. Saya mulai mengerti. Masyarakat etnis Tionghoa di Singkawang sudah turun temurun menjalankan Ritual Tatung ini. Menurut mereka, Ritual Tatung merupakan sarana untuk mengusir roh jahat yang menjadi penyebab malapetaka bagi suatu wilayah. Ritual ini dilakukan oleh seorang dukun yang biasa disebut tatung atau lauya. Orang-orang yang terpilih menjadi Tatung ini "dirasuki" oleh roh leluhur mereka sebagai peruntungan. Kakek dari Datuk Kurata telah berpesan kepadanya untuk mewariskan budaya ini sampai kepada generasi-generasi berikutnya untuk menjaga keharmonisan kampung mereka. Datuk sendiri sudah menjadi Tatung sedari muda walaupun sejak menjadi ketua adat ia tidak lagi melakukan aksi Tatung ini.

Hatiku tidak tenang saat meninggalkan kampung Datuk sore itu. Entah karena masih shock akan banyaknya informasi yang membuatku ngeri atau hal lain, aku merasa gelisah malam itu. Apalagi, hotel tempat kami menginap berada di atas bukit yang sepi dan sayup-sayup terdengar suara burung hantu di kejauhan. Aku sekamar dengan Egi yang kelihatan santai-santai saja dan bersiap untuk tidur.

"Gii, kok, perasaanku nggak enak, ya," ucap saya saat Egi hendak mematikan lampu kamar. Ia tidak begitu peduli dan hanya menyuruh saya untuk berdoa serta segera tidur. Maklum, kami harus bangun pagi sekali supaya tidak kehilangan momen. Setelah beberapa saat mencoba memejamkan mata dan berdoa berulang-ulang dalam posisi tidur, saya terlelap.

UNEXPECTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang