"Kau harus memperingati mereka semua. Semua sebelum terlambat..."
Galia terbangun, wajahnya pucat pasi, rambut cokelat bergelombang miliknya terlihat berantakan. Lagi, mimpi itu kembali menghantui malam Galia. Ia bahkan tidak ingat kapan pertama kali mimpi itu dimulai. Hanya saja akhir-akhir ini mimpi tersebut terasa semakin nyata. Teriakan, tangis, dan rasa sakit dalam mimpi tersebut dapat ia rasakan.
***
"Kau yakin?"
Galia mengangguk, memberi sinyal kepada wanita yang berada dihadapannya.
Ragu, wanita tersebut menggenggam keras gagang pisau yang sedang ia pegang. Jantung Galia berdegup cukup kencang. Ia tidak menunjukkan ekspresi ketakutan, tetapi tangannya yang gemetar menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Angin berhembus cukup kencang, aroma obat memenuhi indra penciuman mereka berdua. Galia menatap lurus wanita di depannya, sekali lagi memberikan sinyal bahwa ia siap.
Galia menarik napas panjang, dengan cepat wanita di hadapannya menorehkan mata pisau yang tajam ke atas pergelangan tangan Galia. Sebuah garis panjang berwarna merah terang muncul di atas goresan tadi. Darah mengalir, satu per satu tetes darah menyisakan jejak di atas tanah tempat Galia berpijak. Rasa nyeri menjulur ke seluruh tubuh Galia. Wajahnya meringis, menahan sakit yang ia rasa.
"Aku sudah menduganya." Wanita di hadapan Galia menaruh pisau yang ia pegang ke dalam saku di pinggulnya. Kemudian ia menggigit ibu jari kanannya cukup keras hingga mengeluarkan darah. Ibu jari tersebut ia usap ke atas luka Galia. Matanya terpejam, mulutnya menggumamkan sebuah kalimat asing. Seketika garis panjang berwarna merah tadi tertutup, aliran darah Galia pun terhenti.
"Terima kasih," ucap Galia.
Wanita berambut cokelat sebahu tersebut meraih kembali pisaunya dan membersihkan darah yang menempel di permukaannya. "Lebih baik kau segera pulang. Obati lukamu dengan benar. Latihan kita cukupkan sampai disini."
Wanita itu pergi meninggalkan Galia yang terdiam menatap bekas darah di atas pergelangan tangannya. Wajahnya memerah, matanya memanas, dengan cepat Galia menghapus air yang bertengger di matanya sebelum jatuh mengalir di wajahnya.
***
Galia mengoleskan sebuah cairan kental berwarna hitam ke atas luka yang baru saja ia dapat. Rasanya panas dan sedikit gatal. Baunya pun sangat menyengat. Cairan tersebut merupakan cairan uchus, cairan yang ampuh untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat proses regenerarisasi kulit.
Galia membuka perban di lengan kirinya dengan perlahan. Terdapat banyak bekas luka menghiasi lengannya tersebut. Luka gores, luka tusuk, hingga luka bakar tergambar jelas disana. Ia menghadap ke cermin di depannya, meraba luka tersebut satu per satu.
"Ada apa? Kau mendapat luka baru?" seorang wanita tua menghampiri Galia. Meski kulitnya sudah keriput, jelas terlihat bahwa ia adalah wanita yang sangat cantik pada masanya.
"Tidak begitu parah, Nek." Timpal Galia cepat.
"Coba kulihat."
Galia mengangkat lengan kirinya, memperlihatkan luka tersebut kepada neneknya.
"Hmm.. hanya luka gores. Kali ini dengan apa? Pisau? Atau pedang?" Neneknya bertanya.
"Pisau, hanya sebuah pisau kok. Aku tidak ingin memperparah keadaan ditengah persiapan ini."
Nenek Galia tersenyum mendengar jawaban cucunya tersebut, "kau benar," ucapnya.
"Nek," Galia membalikkan badannya, memposisikan tubuhnya berhadapan dengan neneknya yang kini duduk di samping sebuah tungku besar. "Kalau aku tetap tidak bisa melakukannya hingga akhir, apa yang harus kulakukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Edentis
FantasyMimpi buruk Galia semakin mengganggu tidurnya. Di tengah persiapan ujian untuk para Blackwood muda, Galia masih harus memikirkan mimpi yang menghantuinya tersebut. Dapatkah Galia membuktikkan bahwa ia adalah seorang Blackwood sekaligus mengartikan...