Sudah 5 jam Galia berjalan kaki, masih belum ada tanda-tanda kehidupan manusia di dekatnya, hanya pepohonan dan terik matahari yang menemaninya sedari tadi. Jalan setapak yang becek membuat langkah Galia semakin berat. Aneh, pikir Galia, matahari di daerah tersebut sangat panas, tetapi tanah di bawahnya tetap basah.
Satu jam berlalu, Galia berhasil melewati jalanan aneh tersebut, kini ia berada di sebuah padang rumput yang cukup luas. Dari kejauhan ia dapat melihat kumpulan bangunan, Galia melihat asap yang mengepul ke udara dari beberapa bangunan di kejauhan sana. Sebuah desa, gumam Galia. Dengan cepat Galia menuruni padang rumput tersebut, ia sudah tidak sabar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.
Desa tersebut bukan lah desa yang besar, tetapi terlihat cukup modern, mungkin karena desa ini terletak di antara wilayah Agrein dan kota Basemil, kota terbesar di seluruh penjuru Edentis. Kota Basemil adalah pusat peradaban Edentis, tidak ada klan yang menguasai kota tersebut. Dari cerita yang pernah Galia dengar, di kota Basemil ia dapat menemukan berbagai macam kebutuhan, dan yang paling menarik adalah bertemu dengan anggota klan-klan lain yang berada di sana.
Galia berdiri di depan sebuah bangunan kayu, di atapnya tertulis 'Badhong Bebasan', yang berarti kota bebas dalam bahasa Edentis kuno. Bangunan tersebut memiliki pintu yang unik karena pintunya tidak menutupi seluruh daun pintu, hanya sebagian saja yang tertutup. Galia berpikir mungkin kah bangunan tersebut adalah bar yang selama ini ia dengar dari cerita para penjelajah di klannya.
Ia berjalan masuk, di dalam bangunan tersebut terdapat banyak meja dan kursi, kebanyakan kosong, mungkin karena hari masih siang. Galia menghampiri seorang pria bertubuh pendek namun berbadan kekar yang sedang membereskan salah satu meja disana.
"Permisi.."
Lelaki tersebut menoleh ke belakang, tingginya hanya sebatas telinga Galia.
"Apa yang kau inginkan?"
"Apakah kau menyewakan kamar?" tanya Galia kepada pria tersebut.
"Harganya 2 emas per malam." Pria tersebut kembali membersihkan meja di depannya, kemudian berjalan ke meja panjang di ujung ruangan. Di atas meja tersebut terdapat banyak gelas dan berbagai macam botol. Galia mengikuti pria tersebut dari belakang.
"Ini, 2 koin emas," Galia mengulurkan tangannya ke arah pria itu. Tampaknya pria tersebut agak terkejut melihat perban yang menutupi seluruh lengan Galia.
"Kau berasal dari mana?" tiba-tiba pria tersebut menatap tajam ke arah Galia.
"Timur." Timpal Galia cepat. Ia sengaja tidak memberitahukan asalnya karena itu memang akan membahayakan nyawanya.
"Kau tidak terlihat dan terdengar seperti orang timur."
"Dan itu bukan urusanmu."
Pria tadi memperhatikan Galia dengan saksama, Galia tidak bergeming sedikit pun, ia tetap mengulurkan tangannya.
"DELILAH!" pria tadi berteriak memanggil seseorang. "Antar wanita ini ke kamarnya!"
Seorang gadis muda seumuran Galia berlari dari arah belakang, pakaiannya sangat lusuh, rambutnya terlihat jarang disisir. Tetapi warna mata gadis itu sangat menarik perhatiannya, biru muda, sebiru langit yang biasa Galia tatap di bukit Agrein.
"Ayo, akan kutunjukkan kamarmu." Gadis itu berjalan ke arah tangga, Galia menaruh koin emas tadi ke atas meja dan mengikuti gadis tersebut.
Mereka berhenti tidak jauh dari tangga, pintu kamar Galia terlihat lebih bagus dari pintu-pintu lainnya. Mungkin pintu tersebut baru diganti, pikir Galia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edentis
FantasyMimpi buruk Galia semakin mengganggu tidurnya. Di tengah persiapan ujian untuk para Blackwood muda, Galia masih harus memikirkan mimpi yang menghantuinya tersebut. Dapatkah Galia membuktikkan bahwa ia adalah seorang Blackwood sekaligus mengartikan...