"Saya nikahkan Aladin bin Abdullah dengan putri saya, Anyelir binti Gumelar dengan mas kawin seperangkat alat salat serta uang lima juta rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Anyelir binti Gumelar dengan mas kawin tersebut di atas dibayar tunai."
"Sah?"
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Orang-orang yang menyaksikan pernikahan itu melafazkan hamdalah disertai tarikan napas lega. Pun Anyelir. Bedanya, tarikan napas lega para kerabat karena Anyelir dan Aladin telah sah menjadi suami istri, sedangkan Anyelir lega karena selesai sudah acara yang terasa membosankan. Kain batik yang membungkus pinggul curvy-nya hingga mata kaki dipadu kebaya putih sederhana yang lejas dan melekat di dada serta sanggul yang memberatkan kepala membuatnya yang biasa mengenakan celana gombroh dan t-shirt tanpa lengan dengan rambut dibiarkan tergerai, merasa tak nyaman. Namun, ia harus menjaga gerak di hadapan puluhan pasang mata yang memandang tak berkedip-terutama di dadanya yang nyaris pecah.
Telempap yang dihias henna bermotif bunga-desain khas Arab-turut menengadah seolah-olah larut dalam litani. Ketika semua kepala menunduk dan mengaminkan doa yang dipimpin ustaz tersohor di kampung, netra Anyelir menyapu wajah kedua orang tua. Emak sesekali menyeka kristal bening yang lolos dari pelupuknya dengan punggung tangan. Bapak yang duduk di depan Aladin dengan meja kecil bertaplak putih berenda sebagai pembatas pun sama. Walau tak sampai menetes, tetapi kaca-kaca tipis nampak jelas di mata tuanya.
Anyelir mencebik. Tentu saja mereka lega karena beban yang dipikul akan berkurang satu.
***"Mak, sebentar lagi masuk sekolah, aku belum beli buku baru." Anyelir memajukan bibir beberapa sentimeter, pura-pura merajuk untuk menutupi dusta. Sebagai siswa paling malas mencatat, tentu saja buku tulis yang ia beli pada semester lalu masih banyak yang mulus. Ia butuh t-shirt baru untuk bolos ke mal bersama gengnya pada hari pertama saat sekolah dibuka. Karena itu, mengelabui Emak adalah satu-satunya solusi.
"Duduk Anye, Emak mau ngomong serius."
Dahi Anyelir berkerut mendengar jawaban Emak. Remaja berkulit sawo mentah yang berdiri di pintu kamar segera duduk di hadapan perempuan bertubuh kurus dan tidak tinggi itu. Gunungan kopi cokelat yang masih berkulit sebagai pembatas mereka.
"Ada apa, Mak?" usik Anyelir setelah lima menit berlalu dan Emak masih membisu, tetapi jari-jari ceking itu cekatan mengupas kopi cokelat.
"Emak dan Bapak sudah sepakat, sekolahmu nggak usah dilanjutkan."
Mulut Anyelir mencangah, berharap ada tawa di ujung kalimat itu sebagai pertanda Emak sedang bercanda. Namun, hingga detik berganti menit, tak ada gelak yang terdengar.
"Bapak sudah nggak kuat biayain sekolahmu. Cari uang untuk biaya sekolah keempat adikmu saja, kami pusing. Jadi, mengalah dengan adik-adik. Lagi pula, kamu sudah punya ijazah es-em-pe. Perempuan itu yang penting bisa baca-tulis, sudah cukup."
Tatapan Anyelir nanar ke Bapak yang berucap tanpa menghentikan aktivitas mengupas kopi cokelat di sisi Emak.
"Nggak mau! Aku nggak mau putus sekolah! Aku mau meluk ijazah es-em-a, biar bisa kerja kantoran!" Anyelir melancar protes dengan suara bergetar.
"Kalau gurumu mau dibayar pakai daun kopi cokelat, sana lanjutkan sekolahmu sampai lulus," celetuk Emak sambil jemarinya lincah memainkan pisau kecil, menyayat kulit kopi cokelat yang keras untuk dikeluarkan bijinya. Ekspresi santai di wajah tua itu memantik emosi Anyelir. Ia meradang melihat Emak yang sama sekali tak mau peduli dengan perasaannya.
"Kalian orang tua durhaka!" hardik Anyelir seraya menarik kasar ujung karung sebagai alas biji-biji kopi cokelat. Seketika biji-biji itu berhamburan ke lantai ruang tamu yang masih tanah. Dibalasnya tatapan kedua orang tua dengan nyalang. "Kenapa aku dilahirkan kalau sekadar membiayai sekolah saja nggak mampu? Kenapa Emak nggak kabe biar adik-adik nggak lahir? Kenapa kalian nekat kawin kalau nggak bisa bertanggung jawab terhadap kepuasan batin anak? Kenapaaa?" raung Anyelir mengejutkan keempat adiknya yang sedang bermain di halaman tak luas yang segera berlari ke dalam.
"Orang tua macam apa kalian, hah?" Tanpa memedulikan ketakutan yang terlukis di wajah keempat adiknya yang menyembunyikan tubuh di punggung Emak, Anyelir berdiri dan menendang gunungan kopi cokelat. Satu kopi cokelat mendarat di kepala si bungsu yang sontak menangis histeris. Emak segera merengkuh bocah lelaki berusia enam tahun itu.
Bayangan Bapak mengurut dada sempat ditangkap ekor matanya sebelum Anyelir membanting pintu dan meninggalkan rumah dengan langkah lebar. Ia yakin masih ada sisa uang sepuluh ribu di saku celana, cukup untuk bayar ojek. Kamar indekos Arga satu-satunya tempat yang melintas di benak.
~ bersambung
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
General Fictionistri yang diarak warga sekampung karena selingkuh dengan anak buah suami