Scandal
By : Eka Wahyu Manduri#Anyelir2
Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata betapa nikmatnya kala Anyelir mengembuskan asap yang sebelumnya disimpan sebentar di paru-paru. Asap seketika melumat wajah, lalu terbang keluar jendela dibawa angin pagi.
Seandainya saja anila juga dapat menerbangkan perbincangan pada tujuh hari lalu, tak ia jual arloji pemberian Arga—setelah cowok itu berhasil menidurinya seminggu lalu—guna memborong dua pak rokok.Anyelir mengira setelah melalui tujuh hari bercengkerama dengan sigaret dan melumat kehangatan bersama Arga, perkataan orang tuanya ditelan bumi. Namun, justru semakin menggaung di lorong-lorong ambisinya.
🌹🌹🌹
Berada paling pojok, kelas 1-E dijuluki kelas buangan. Tentu saja penghuninya juga orang-orang yang tidak berguna—menurut banyak guru dan siswa yang cerdas. Akan tetapi, Anyelir telah jatuh hati pada kelas itu sejak pertama kali menjejakkan kaki di sana.
Suasana yang tetap gaduh dengan aktivitas masing-masing sekalipun ada guru sedang menjelaskan di depan sehingga tak sedikit pahlawan tanda jasa memilih keluar kelas sebelum bel pergantian pelajaran berbunyi. Meja dan bangku yang penuh grafiti, teman-teman yang tidak pelit memberi sigaret untuk diisap bersama sebelum ada guru datang atau mereka mengisap di belakang kelas sekalipun bel telah berdentang lebih dari sepuluh menit.
Ya, Anyelir jatuh cinta pada semua itu. Kerap dihukum membersihkan toilet sekolah, berlari mengitari lapangan olahraga yang luas, atau hormat ke tiang bendera selama enam jam karena ketahuan merokok dan membolos, tak membuat Anyelir jera. Apalagi Devi—ketua geng—selalu melecuti semangat mereka. Anak orang kaya yang uang jajannya sepuluh kali lipat dari Anyelir itu tak pernah putus asa mengajarinya cara mengisap sigaret. Kedekatan mereka tak surut sekalipun Devi main ke gubug Anyelir. Persahabatan yang diulurkan Devi murni menciptakan kepercayaan diri Anyelir.
Pada bulan ketiga mereka memakai seragam putih abu-abu, Devi mengajak Anyelir main ke kos-kosan cowok yang ia akui sebagai teman. Kos-kosan yang ditempati Arga berupa bangunan dua lantai kelas menengah dengan lingkungan yang tak saling peduli antara satu dengan lainnya. Berada di jantung kota yang tak jauh dari universitas bergengsi tempat cowok itu menuntut ilmu.
“Bagaimana menurut lu?”
Anyelir yang sedang menyeruput cokelat panas cuma mengernyit mendengar pertanyaan Devi. Mereka berada di kafe kekinian setelah main ke kos-kosan Arga.
“Tentang Arga.” Semburat merah muda di pipi Devi amat jelas ditangkap Anyelir. Devi menyukai Arga, Anyelir mengulum senyum karena pikirannya.
“Jujur, gue belum pernah melihat cowok setampan dia sebelumnya, senyumnya seperti es krim rasa strawberry dan tawanya gue pastikan lebih gurih dari keripik kentang.”
Devi terbahak keras. Beruntung sedang tidak menyesap cappucino panas yang membuatnya bisa tersedak.
“Dia kakak kelas gue waktu es-em-pe. Selama itu pula gue mencintainya.”
“Dalam diam?”
“Gue nggak cukup nyali untuk berterus terang, Anye.”
“Sampai kapan? Lu nggak takut kalau dia keburu disambar orang?”
Devi cuma mengedikkan bahu. “Gue percaya takdir. Kalau dia memang jodoh gue, kelak akan ada jalan walaupun banyak bunga cantik merubunginya. Ayo, kita pulang. Malam sudah larut.”
Anyelir sepakat dan segera menandaskan isi gelasnya.
🌹🌹🌹
Suara gaduh di luar kamar menarik Anyelir dari lamunan. Tertarik untuk mengintip, remaja yang tangannya ditumbuhi bulu-bulu halus itu berjingkat menyibak gorden sedikit agar Arga yang sedang mendengkur tidak terusik dengan silaunya sang surya.Beberapa remaja berseragam putih abu-abu saling bercengkerama di jalan utama yang berjarak sekitar tiga puluh kaki dari kamar Arga yang berada di lantai satu. Tenggorokannya tercekik iri sehingga tanpa sadar melipat jari-jari sampai ujung kuku terbenam di telempap. Kesal dengan pemandangan itu, ia menutup pintu kamar dan kembali ke ruang tamu mini, mengempaskan tubuh di lantai hardwood berpelitur. Mengambil satu sigaret dan menyalakannya. Menikmati asap di depan wajah sebelum terbang dibawa angin pagi keluar jendela yang daunnya terbentang lebar.
Sedang asyik menikmati pembakaran cengkih, tembakau, dan nikotin dengan pandangan hampa ke layar televisi yang tidak menyala saat didengarnya langkah mendekat, memeluk dari belakang, dan mengecup pipi.
“Sepagi ini kamu sudah habis enam batang?” Arga mengamati enam bohana di asbak. “Jam berapa bangun?”
“Hari ini sekolah dibuka dan aku benci.” Anyelir memainkan asap yang terbang di depan mulut.
“Masih memikirkan itu?” Arga duduk memeluk lutut di hadapan Anyelir. “Kalau kamu sakit karena stres, badanmu bisa rusak. Aku ikut merugi.” Bibirnya melengkung nakal.
Anyelir mendelik. “Dasar omes! Aku lagi serius!”
Gelak Arga menggema. “Sudahlah, Sayang, setop memikirkan masalah yang nggak ada solusinya. Lagi pula, nggak sekolah nggak membuat kamu mati, kan?”
“Kalau nggak kerja bisa mati!”
“Hei, banyak pekerjaan yang nggak pakai ijazah!”
“Babu?” Sudut bibir Anyelir terangkat.
“Jangan mencibir begitu, babu juga banyak yang pakai ijazah.”
“Lantas?”
“Nanti kucoba bantu menanyakan ke teman-teman yang punya usaha, ya.”
Mata Anyelir berbinar. “Serius, Ga?”
“Serius, dong, seperti cintaku kepadamu.” Arga meraih jemari Anyelir dan mengecupnya.
“Kalau cintamu juga serius, kawini aku, Ga.”
“Semalam kurang? Padahal kita tiga ronde—aduh!” Ucapan tersebut belum selesai, Arga mengaduh karena pinggangnya dicubit keras.
“Maksudnya, nikahi aku, Ga, please. Aku bosan hidup miskin.”
“Lalu, kamu pikir dengan menikah, bisa kaya mendadak? Lupa kalau aku masih kuliah semester tiga? Anak kita nanti mau diberi makan apa?”
Panas seketika menjalar di pipi Anyelir. Teringat ucapannya sendiri saat melancar protes atas keputusan orang tua yang menyuruhnya berhenti sekolah. Pertanyaan Arga menamparnya.
~ bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
Ficción Generalistri yang diarak warga sekampung karena selingkuh dengan anak buah suami