“Anye, bangun, sudah azan.”
Lamat-lamat suara itu membelai membran timpani Anyelir yang sedang dibuai mimpi. Arga membicarakan azan? Tumben. Menyadari itu bukan suara Arga, sontak kelopak matanya terbuka. Alis lebat bak semut berbaris menaungi sepasang manik hitam. Tulang hidung yang tidak tinggi amat mencolok di antara pipi putih yang lebar. Kumis tipis membingkai sepasang bibir yang tebal. Itu bukan wajah Arga.
“Kamu siapa?” Gegas Anyelir duduk seraya menyibak selimut yang menutup dada, tetapi detik kemudian ia tarik kembali menyadari tubuhnya tanpa sehelai benang. “Apa yang sudah kamu lakukan?” Tatapnya nyalang sembari merapatkan tubuh di dinding.
“Aku—.“
“Ah, ya, aku ingat.” Anyelir menginterupsi ucapan lelaki jangkung itu. “Astaga!” Dipijitnya pelipis yang mendadak nyeri.
“Kalau sudah ingat, cepat mandi. Aku tunggu untuk salat Subuh berjemaah.”
Anyelir mendelik. “Mandi? Kupikir, jam lima pun masih jauh.” Bola matanya mengitari kamar mencari penentu waktu, tetapi tak ada benda apa pun yang menempel di dinding papan bercat putih.
“Baru setengah lima, tapi kalau nggak mandi, salatnya nggak sah, Dek. Kan semalam kita ....“ Pipi putih itu merona samar. Menjijikkan.
Anyelir yang paham akan kelanjutan kata-kata itu tak menghiraukan. Ia justru membaringkan tubuh dan memunggungi Aladin. “Salat duluan sana, aku masih ngantuk.”
***
“Ini uang untuk ke pasar. Belanjalah untuk keperluan dapur selama seminggu biar irit ongkos karena aku belum mampu beli motor, bahkan dengan sistem kredit pun.” Aladin yang telah rapi dan wangi dengan parfum murahan menjulurkan selembar uang berwarna merah.
“Seratus ribu untuk seminggu? Kamu waras, kan?” desis Anyelir mendelik. Ayah Aladin terkenal sebagai uztaz yang karismatik di kampung ini. Itulah alasannya selalu memelankan suara. Walau saat ini mereka sedang bicara di kamar, tetapi seluruh dinding rumah orang tua Aladin adalah papan. Orang bicara di luar rumah saja kadang bisa terdengar.
“Anye! Nggak boleh ngomong begitu.” Ada ketegasan pada suara Aladin, tetapi masih lembut dan disertai senyum tipis. “Tolong, hormati suamimu, ya.”
Enggan menyahut, Anyelir memainkan tepi seprai yang ia duduki.
“Kalau begitu, belanja secukupnya saja, aku belum gajian. Tabunganku sudah dikuras untuk pernikahan kita.”
Anyelir masih enggan menyahut. Yang diucapkan Aladin adalah fakta. Membiayai pernikahan seratus persen dan uang cash lima juta rupiah untuk mas kawin adalah salah satu syarat ia menerima pinangan lelaki tinggi itu.
“Aku kerja dulu, ya, Dek. As-salaamua’laikum.” Aladin berdiri.
“Wa’alaikumus-salam.” Setengah malas Anyelir mengikuti Aladin keluar kamar. Sudut bibirnya naik melihat suaminya mencium takzim tangan kedua orang tua. 'Seperti anak TK!'
Bayangan Aladin belum hilang sepenuhnya dari pandangan, Anyelir sudah memutar tubuh dan menutup pintu. Emak mertua sedang mencuci piring bekas mereka sarapan. Ingin ia mencegah dan menggantikan karena tak enak hati dengan ayah mertua, tetapi detik kemudian memutuskan tak peduli. 'Lagi pula, kalau mertua dimanja nanti tuman!'
Lima menit lagi menuju angka enam. Masih terlalu pagi pergi ke pasar. Ingin berkurung di kamar, sungkan dengan ayah mertua. Anyelir memilih menyapu ruang tamu yang berfungsi ganda sebagai ruang keluarga juga yang berlantaikan semen.
“Anye, Emak sama Ayah mau ke ladang orang dulu, mau ngambil upahan,” pamit Emak yang sudah berpakaian khas petani lengkap dengan caping.
“Tadi aku disuruh Bang Al ke pasar.”
“Ya, kunci dibawa aja. Kami pulang sore karena sudah bawa bekal,” sahut Ayah sambil menyelipkan golok di pinggang.
Setelah rumah sepi, Anyelir ke kamar, ingin melanjutkan tidurnya yang terpenggal karena Aladin memaksanya melaksanakan salat dua rakaat tepat pada pukul 05.30. Usai salat, Anyelir harus menjaga mata agar tetap terbuka karena suaminya sedang siap-siap berangkat kerja. Melihat katil yang berantakan, dilipatnya selimut Aladin. Ketika matanya menangkap seprai putih tanpa noda, ia mengulum senyum. Untung saja Aladin bukan tipikal lelaki ceriwis yang menganggap penting darah perawan sehingga tak mencurigainya.
Anyelir meraba seprai yang terlihat masih baru itu. Seprai malam pertama, tetapi bukan yang pertama.
~ bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
General Fictionistri yang diarak warga sekampung karena selingkuh dengan anak buah suami