2. flower bucket

2.1K 333 30
                                    

.
.
.

Saat Apo berkata 'akan masak', Mile tidak berharap banyak. Ia sama sekali tidak berharap malah. Ya untuk apa berharap masakan orang yang tiba-tiba datang, mengaku dari masa depan.

"Aku masak kesukaan kamu." Ucap Apo senyum-senyum saat ia menghampiri Mile yang sibuk dengan pekerjaannya yang entah kapan akan selesai.

"Kayak tau aja..." jawab Mile skeptis. Masih kesal rupanya.

"Tebak dulu."

"Pasta carbonara?"

Apo menggeleng "Sup ayam jamur."

Mile berbalik, menatap Apo heran. Kebanyakan orang tahunya ia suka pasta karena memang paling sering makan itu, bukan masakan khas ibunya.

Apo menggeleng lagi, kali ini dramatis "Ada yang masih belum percaya siapa jodohnya..." ia berbalik ke meja makan.

Mile mengikuti, untuk membuktikan. Ia membuka mangkuk yang kemudian  mengepulkan aroma yang sudah lama tidak ia rindu. Ia bahkan tidak ingat terakhir kali menggunakan dapur untuk 'masak'.

Canggung, Mile mulai mencicip masakan Apo dan... sangat mirip dengan masakan ibunya di Bangkok.

"Gimana bisa?"

Apo menggedik bahu sombong "Still need more proof?"

Mile menggeleng. Antara menolak dan tidak menemukan jawaban yang cocok.

"So, karena aku udah masak makanan kesukaan kamu, can i get something from you?" Apo menengok wajah Mile yang menunduk karena makan sambil banyak berpikir.

"Apa?" Mile acuh.

"Sore nanti ya. Siapin tenaga aja." Kali ini alis Apo yang naik turun menggoda.

Mile nyaris tersedak.
Jawaban Apo membuat Mile berpikir jauh, lebih jauh.

.

Sore...

Mile sudah meninggalkan berbagai macam gambar teknis di mejanya. Ia sudah menutup tirai kamar, lalu menyalakan lampu temaram.

Okay, jujur Mile (bisa dibilang) excited menunggu Apo keluar kamar mandi. Ia sudah bersiap duduk di ranjang hanya dengan celana training. Rambut tebalnya sudah ia ikat rapi. Perasaan kesal tadi? Menguap entah ke mana.

Harusnya Apo tanya hal ini sejak awal datang...

Pintu kamar mandi terbuka, Apo muncul dengan kaos dan celana pendek, berkedip melihat Mile "Mau lepas baju aja?"

Mile juga berkedip bingung "Harusnya pake baju?"

"Ya, nggak apa-apa sih tanpa baju juga. Tapi kita lari di lapangan loh." Jawab Apo mencari sepatu lama Mile yang ukurannya tidak jauh beda dengan kakinya.

"Kita... lari?" Mile bertanya ragu.

Apo yang sudah menemukan sepatu, berbalik menatap Mile "Iya?"

"Oh..." Mile mengangguk canggung "oh..." ia mengambil kaosnya yang dilempar ke bangku "oh..."

Apo memakai sepatu sambil tersenyum.
Mile memakai sepatu sambil mengumpat.

.

Mile ingin menyalahkan situasi (jika bisa) cuaca, sepatu atau alasan apapun yang bisa ia kambing hitamkan atas keadaannya saat ini.
Terengah lari di lapangan dekat apartement. Memalukan. Apalagi Apo sudah jauh di depan.

Mile tidak ingat kapan terakhir berolahraga, lari khususnya. Hidupnya sangat amburadul sejak merantau ke kota ini.

Arsitek lepas, tinggal sendiri, dengan jam tidur dan kerja suka-suka, mana ada pikiran untuk berolahraga. Ia menganggap sex (yang tidak seberapa sering) sebagai olahraga.

"P' masih kuat?" tanya Apo yang sudah kembali menyusulnya.

"Hh...masih..hh."

Apo tertawa lepas "Baru enam lap kan? Kurang empat?"

Mile masih terus menyeret langkahnya di jogging track. Jangankan mengejar Apo yang sudah menyalipnya lagi, melanjutkan pun rasanya makin sulit.

Apo berbalik lalu berteriak "Nanti aku kasih hadiah!"

Langkah Mile sempat terhenti karenanya. Karena suara Apo. Karena tawanya. Karena matahari di menyilaukan di belakangnya.

'Gue jadi penasaran dia kerjanya apa...' pikir Mile sambil terus berlari.

Sosok itu mudah sekali menarik dirinya berlari dalam dunianya yang terhenti.

.
.

Langit mulai gelap saat (akhirnya) Mile selesai lari. Gila... keringatnya seperti orang tercebur kolam. Sambil minum, Ia melirik Apo yang sedang memandang matahari perlahan turun dengan tatapan...

Mile teringat tatapan di saat ia melihatnya di ranjang pertama kali.
Semacam...kesakitan?

"Kerjaan lu apa?" tanya Mile.

Apo menoleh, mengambil napas lalu tersenyum. Seperti sedang mengenyahkan apa yang tadi ada di pikiran. "Kenapa emang?"

"Ya, lu tau segala tentang gue, but i know nothing about you." Mile memancing, apa tatap mata itu akan kembali.

Ternyata tidak.
"Itu ngaruh nggak dengan perasaan kamu nanti?" Apo bertanya balik.

"No? I think. Kecuali ternyata lu landlord, pemilik gedung atau apartement puluhan lantai sih..."

Apo tertawa sepeti biasanya "Wah, bener padahal loh."

Mile hanya tersenyum karena sama sekali tidak tahu Apo serius atau tidak. "Kapan lu balik?"

"Tenang, aku datang tak dijemput pulang tak diantar."

Kali ini Mile ikut tertawa.

"Nanti kalo aku pulang, Kira-kira kamu nyariin nggak?"

Entah Pertanyaan Apo atau tatap mata itu yang membuat tawa Mile berhenti.

.

Mereka berjalan beriringan kembali ke apartement, namun saat sampai di halaman depan Mile tidak melihat Apo. Tersesatkah? Tapi jarak lapangan tidak jauh. Atau mampir di mana?

Mile kembali ke luar mencari Apo, namun belum sampai di tikungan jalan utama pria itu muncul. Apo datang dengan segenggam bunga mawar dan bunga matahari terbungkus kertas di tangan.

"Ini hadiah buat P'..." Apo menyerahkan bunga itu.

Mile terdiam. Efek kelelahan mungkin, otaknya tidak bisa cepat memproses kejadian ini.

"Pertama kali dikasih bunga?" Tanya Apo.

"Are you flirting with me?" Mile bertanya balik. Tidak mau menjawab pertanyaan tadi karena tebakan Apo benar.

Apo malah tersenyum lebar "Flirting with my own husband? Sounds cute."

Apo memberikan bunga itu sebelum melangkah duluan ke masuk ke apartement.

Mile menatapnya dan bunga di tangan bergantian karena bingung.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
Tbc
.
.
.
Beware of the pain
Terima kasih telah membaca

ApomorphineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang