“Pernikahan? Pekerjaan? Orientasi Masa Depan?”
-Kita Bekerja Sesuai Porsi-Di saat matahari sudah berdiri sangat tegak, punggung ini masih membungkuk menimbang apakah akan pergi bekerja setelah bicara panjang lebar bersama Mama atau mendengarkannya dan berhenti meninggalkan kedai? Oh, sungguh melelahkan sekali hidupku.
Aku selalu berpikir bahwa ketika kaki menginjak dunia di luar anak-anak semuanya begitu menyenangkan. Mendapat belahan jiwa, berkencan dengan seorang pria kaya seperti film pada layar kaca, bergelimang harta untuk menghias wajah agar selalu tampil istimewa, dan banyak sekali, arisan bersama rekan kerja, beradu argumen dengan pemimpin rekadsi pada pertemuan pagi. Tapi, semuanya hanya kiasan saja. Dunia ini jauh dari apa yang aku pikirkan.
Mama melambaikan tangan saat aku keluar dari gerbang. Namun beberapa saat kemudian berlari ke arahku dengan tergesa-gesa. “Hampir lupa, hari ini harusnya kamu ada di rumah saja. Akan ada tamu untuk ayahmu. Sebaiknya jangan pergi.”
“Lho, tapi aku harus. Bayu pasti kesusahan kalau aku nggak datang hari ini.”
“Maunya begitu, tapi kamu harus tetap tinggal.”
Aku kembali ke dalam rumah, sambil membantu Mama membereskan rumah, memasak dan menyiapkan obat Ayah. Aku gundah, entah mengapa pikiranku selalu tertuju pada Bayu yang begitu memesona. Apalagi ketika tengah menyeka keringatnya. Bagaimana dia memberi banyak cerita tentang kehidupan di kota ini membuatku merasa jauh lebih bersemangat untuk selalu menemuinya.
Kalau saat ini aku sedang jatuh cinta. Oh, ternyata seperti ini rupanya. Membuatku selalu ingin berada di dekatnya. Membuatku ingin selalu mendengar banyak hal tentangnya. Namun, kurasa belum saatnya.
🌻
Pintu diketuk berulang kali, aku bergegas membukanya. Mendapati sosok pria muda bersama mungkin kedua orang tuanya. Kupersilakan sebab Mama pun sudah meminta ketika tamu tersebut singgah di meja makan walaupun hanya tersaji makanan ala kadarnya. Kurasa pula mereka bukan dari kalangan miliarder, cah kangkung dan tempe orek mungkin bisa diterima lidah. Mama mulai menyiapkan nasi hangat, piring dan Ayah sudah duduk di antara kami meski tampak lesu rona wajahnya.
“Ansa, ini Reza. Anaknya Om Martono.” Ayah memandang pria tersebut dengan senyum simpul.
“Halo, Ansa!” kataku ketika dirinya menjulurkan tangan ke arahku.
“Reza.”
“Kalian bisa saling mengenal mulai sekarang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspedisi Kaki ✔ | [Cerpen]
ChickLitPemenang 8 Days Challenge with Chicklit Indonesia. Aku bukan apa-apa, jika aku tidak bergerak maju. Aku juga bukan siapa-siapa jika aku tidak mencari jati diriku sendiri. Dan, hanya seorang remaja yang akan menginjakkan kaki pada alas bumi. Start o...