“Distorsi”
-Bukan saatnya bermimpi, sudah saatnya beraksi-Aku berlari ketika kedua orang tua murid adu mulut membela anaknya masing-masing. Di hari ke 60 aku mengajar baru kali ini aku menyaksikan pertengkaran hebat. Aku mengambil jeda sebelum memisah kedua belah pihak yang sudah dikuasai emosi yang meledak-ledak tanpa henti.
“Itu salah anak kamu!” ucap si Ibu berpakaian jas kantoran.
“Anak kamu dong, dia yang ngambil alat gambar anak saya!”
“Sudah, sudah jangan berkelahi di depan anak-anak, Ibu sekalian.” Aku masih bersusah payah melerai.
Sebuah tamparan malah mendarat di pipiku. Kenapa di pipiku?
“Jadi guru nggak becus!”
Kalimat yang membuat diriku kehilangan kesadaran seketika. Kenapa aku harus berada dalam keadaan dan situasi yang begitu mengerikan. Bahkan aku tidak tahu apa yang saat ini tengah terjadi padaku?! Dunia yang jauh dari apa yang aku harapkan sampai membuatku ingin pergi seketika.
“Bu, coba ceritakan dulu apa masalahnya. Jangan asal menuduh dan mohon jangan bersikap kasar di depan para anak. Itu hanya akan jadi contoh bagi mereka!” ucapku penuh penekanan.
“Halah, kamu bicara seperti itu karena harga diri sebagai guru jatuh, kan? Merasa dipermalukan?”
Hari itu, ketika aku datang ke kampus. Aku begitu kelelahan setelah semalaman mengerjakan tugas sampai pagi. Dan sampai di kampus aku hanyalan setitik jiwa kosong yang mendamba sebuah ketenangan di balik selimut.
Aku tertunduk di meja sambil berusaha mencerna ucapan Sensei, sekaligus wali kelasku. Aku mendapat sebuah pertanyaan yang sontak aku jawab tanpa berpikir setelah melepaskan rasa kantuk. Berkali-kali beliau bertanya dan aku selalu salah dalam menjawab.
“Kamu datang lagi ke kampus hanya untuk begini? Sudah mengemis-ngemis minta kuliah lagi sikapmu begini?”
“Mengemis?” ringisku dengan tatapan mata elang padanya.
Semua tampak hening dan tak ada satupun yang menimpali bahkan saat dirinya keluar kelas tak ada satu pun mahasiswa yang menimpali. Oh, fakta yang begitu diputar balik sejatinya. Aku bahkan tidak berencana untuk kembali ke kampus saat itu walaupun ingin. Beliau sendiri yang memintaku, menawariku bahkan memaskaku untuk mengisi KRS atau disebut juga Kartu Rencana Studi. Ah, gila sekali keadaanku saat ini. Malu bukan kepalang.
Para mahasiswa memperhatikan diriku yang masih setengah sadar akan kejadian mengenaskan ini. Bukankah harusnya menegur wajah ke wajah bukan seperti ini??
Aku keluar dari kelas, dan merasakan dada yang sangat sakit tak ada duanya. Aku pulang dengan keadaan yang kalau.
Kembali pada ke saat ini. Aku berusaha melerai mereka kembali walau wajahku berkali-kali kena tampar oleh kedua ibu tersebut.
“Ibu, anaknya hanya meminjam alat gambar bukankah sudah jelas anaknya yang mengatakan?”
Tak ada jawaban yang dapat aku dengar dari kedua bibir para ibu. Hanya ada bahasa tubuh yang menandakan bahwa dirinya tidak suka. Aku kembali berucap, bertanya untuk mendapat jalan tengah untuk kedua belah pihak.
“Intinya maling!”
Uh sungguh, aku ingin marah!
Setiap orang tua punya caranya masing-masing untuk membela sang anak atau keluarganya tapi kupikir cara ini salah. Membiarkan anak-anak mereka melihat pertempuran yang hanya akan membuat mereka menirukan hal buruk sebagai contoh dasar. Tapi aku juga tidak bisa melawan atau mengubahnya. Aku hanya orang asing yang berstatus guru, orang tua di sekolah dan di mata mereka sangat tidak ada harganya.
Berjam-jam kami selesaikan masalah hanya dengan adu argumen yang imbasnya kepada diriku yang masih berstatus guru baru. Aku benar-benar membuat Reza malu. Sejenak aku berpikiran bahwa akan kembali pada Bayu sebagai pekerja kedai yang jelas-jelas kena komplain atas kesalahan diri sendiri tidak seperti ini.
🌙
Aku berbaring, melepaskan penat setelah seharian menyelesaikan masalah tentang alat gambar yang katanya dicuri yang A sampai Z.
Mama membawakan makan malam. Sudah repot-repot beliau membawakan makanan padahal aku sangat tidak berselera sedikit pun.
“Ayo makan!”
“Iya.”
“Kenapa denganmu, Ans?”
“Aku baik-baik aaja.”
“Kamu menyembunyikan sesuatu?”
Aku menggeleng lalu menyuapkan sesendok nasi dan potongan rica ikan tongkol. Ini salah satu makanan kesukaanku.
“Ucapan Sensei hari itu masih selalu menghantui diriku, Ma. Apa aku terlihat seperti pengemis? Aku tidak mengemis untuk masuk kampus dan aku juga tidak mengemis pada Reza agar jadi seorang guru.”
“Sayang jadikan ucapan beliau sebagai penyemangat bukan malah menyerah seperti ini.”
Aku berusaha kuat, Ma. Aku berusaha tapi nyatanya aku tidak bisa mengelak akan hal itu. Betapa rumitnya dunia yang sedang aku pijaki saat ini. Kemelut dunia yang membuat aku jatuh sebagai wanita lemah yang bersembunyi di balik kata baik-baik saja. Aku ingin menyerah tapi melihat keadaan Ayah dan Mama aku ingin berlari lebih jauh lagi. Begitu banyak beban yang memenuji pundakku walau tidak sebanyak beban yang kalian pikul selama membesarkan diriku. Aku harus seperti apa dan bagaimana bisa aku menjalani hidupku jika aku masih tidak percaya pada apa yang sedang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu!
Aku ingin menangis.
“Kamu terlihat begitu hancur, Ans. Menangislah, Mama paham perasaanmu, tidak salah seseorang menangis.”
“Aku malu.”
“Kenapa harus malu? Menangis bukan hal yang hina. Setiap orang berhak menangis entah ketika bahagia atau terluka. Itu bukan sesuatu yang bersifat jahat.”
Aku memeluk Mama dengan erat sambil sesegukan bersama. Kami hanya wanita yang berusaha tegar menjalani hidup kini.
“Nak, hidup itu harus seperti pohon. Bagaimana dia begitu kokoh meski diterpa badai dan hujan. Tapi tumbuhnya tetap ke atas. Jangan pedulikan bagaimana para lumut mengerumuninya tapi dia tetap tegak berdiri.”
“Ingat juga, beras sebelum jadi nasi. Bagaimana dia tumbuh dari benih, lalu jadi padi yang setiap saatnya semakin menunduk saat semakin berisi.”
Aku memandang wajah Mama yang begitu teduh. Mungkin aku belum sejauh Mama melangkahi dunia tapi aku sudah jatuh ke dalam pusaran rasa menyerah. Aku memeluk Mama semakin erat dan erat lagi. Kami sama-sama melepaskan segala kesakitan bersama mengingat bagaimana Ayah sakit tidak dapat disembuhkan dengan biaya sedikit dan kami harus berkerja keras untuk Ayah. Setelah Ayah bekerja keras untuk kami sebagai keluarganya.
“Ans, duniamu masih sangat luas. Kamu harus berlari sedikit demi sedikit. Kamu pasti bisa Ans.”
Mendengar ucapan Mama aku semakin terhayut dalam tangis yang menguasai. Suara tangis menggema di ruangan ini. Tak ada suara lain selain itu, dan sedikitnya membuat aku lega. Aku sudah menangisi kesakitan dan saatnya menangisi kebahagiaan di masa mendatang. Aku juga akan lakukan segalanya demi Ayah dan Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspedisi Kaki ✔ | [Cerpen]
ChickLitPemenang 8 Days Challenge with Chicklit Indonesia. Aku bukan apa-apa, jika aku tidak bergerak maju. Aku juga bukan siapa-siapa jika aku tidak mencari jati diriku sendiri. Dan, hanya seorang remaja yang akan menginjakkan kaki pada alas bumi. Start o...