Pertemuan singkat

33 12 8
                                    

Luna Rachelia. Seorang mahasiswi jurusan Psikologi di salah satu universitas di kota Yogyakarta. Ia adalah anak yang ceria, bahkan sangat. Dia juga pribadi yang disukai banyak orang karena keramahan dan kebaikannya kepada banyak orang. Bahkan teman-temannya sendiri pun bingung mengapa ada orang sebaik Luna. Luna adalah orang yang unik. Ia tidak pernah sekalipun terlihat sedih di depan orang. Sampai sahabat Luna berpikir bahwa Luna adalah orang yang selalu bahagia. Hidupnya seperti tidak ada sedihnya. Luna seorang gadis sederhana juga dari keluarga yang sangat sederhana. Ia berpakaian sesuai dengan apa yang ia ingin. Ia tidak pernah berlomba dan haus pujian akan kecantikan hanya untuk dibilang keren dan modis. Dia sadar bahwa tidak ada gunanya dia terlihat keren hanya karena penampilan.

Terlalu klasik, pikirnya.

"Eh mama, nih Luna sudah masakin mama nasi goreng dengan telor mata sapi kesukaan mama."

"Ya allah nak, kenapa repot-repot. Maafin mama ya mama bangun terlambat."

Pasti mama kebanyakan nangis lagi ni mikirin papa, batin Luna

"Iya ma gapapa ko, ayo ma makan habis ini Luna mau cepet-cepet ke Kampus. Ada kelas pagi soalnya," jawab Luna

"Gimana kuliah kamu? kamu sudah semester 6 nak. Setahun lagi kamu lulus, kamu yakin mau lanjutin s2?"

"Iya ma, Luna yakin. Luna bakal berusaha."

Mereka kemudian fokus memakan isi dari piring mereka masing-masing. Memasukkan makanan untuk mengisi perut mereka agar tidak kosong.

"Mah Luna berangkat ya, mama kalo mau berangkat jualan hati-hati ya ma," ucap Luna sambil mencium tangan perempuan berumur kira-kira berkepala empat itu.

"Iya sayang. Kamu juga ati-ati "

Luna keluar dari rumahnya menuju dunia yang penuh akan pencitraan. Ya, bagi Luna saat ia sudah selangkah keluar dari pintu rumah saat itu juga ia harus menjadi Luna yang selalu bahagia. Bagaimanapun keadaannya di dalam rumah ia tetap tidak boleh terlihat buruk di depan banyak orang.
Luna berjalan menyusuri gang dan menuju Halte bus. Seperti biasa, mata orang-orang tertuju pada Luna seakan mereka bicara kuno sekali cewe ini, ga malu apa udah jaman modern tapi fashionnya masih gitu gitu aja. Iya itulah kemungkinan terbesar yang memang sudah biasa bagi Luna menjadi tontonan seperti itu. Luna tetap bersikap percaya diri karena bagi Luna menggunakan celana levis biru dengan atasan kemeja flanel perempuan yang sudah sedikit luntur dan sepasang sepatu vans yang terlihat kumal. Yaa seperti itulah Luna, dia lebih suka menggunakan pakaian-pakaian yang tidak ribet. Namun bukan berarti ia tomboy. Ia bahkan sangat feminim namun ia tidak suka saja dengan sesuatu yang mengganggu aktivitasnya.

Beberapa menit kemudian akhirnya bus yang ditunggu Luna tiba. Luna menaiki bus tersebut, ia duduk di dekat jendela karena ia orang yang sedikit mabokan meski hanya sebentar saja naik bus. Luna memasang earphone berwarna putih keruh yang kuno itu ke telinganya sambil mendengarkan lagu jazz kesukaannya.

Tiba-tiba ada seseorang yang tepat duduk disampingnya. Ia berwajah tampan, memiliki alis yang tebal, dagu yang terbelah dan senyumnya yang teduh. Namun pria itu tidak membuat Luna terpana. Luna memang sulit percaya pada cinta. Sejak ayahnya menjadi pria pertama yang brengsek dimata Luna. Bahkan mungkin Luna tidak pernah merasa yang namanya jatuh cinta di umur yang ke 21 ini. Baginya cinta hanya akan membuat ia terluka.

"Permisi mba, tolong geser sedikit." Ucapnya sambil melepas earphone yang ada di telinga Luna

"Oh iya mas," jawab Luna

Luna & Yuka [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang