Letter 143

363 27 3
                                    

Hai, bagaimana kabarmu? Seperti biasa. Semoga pagimu dimulai dengan baik. Sedikit telat karena aku harus mengurus beberapa hal penting. Satu hal yang perlu kau tahu, kenyataan menyebalkan yang sayangnya aku pun menyukainya. Ya, kau benar. Dia tumbuh sepertimu. Keras kepalanya, tingkah bodohnya. Bahkan ia sekarang menjadi seseorang yang telah dinobatkan sebagai playboy terfavorit dalam peringatan 13 tahun berdirinya sekolahnya.

Percaya atau tidak. Dia sekarang sudah sangat baik, dia mulai bertanggung jawab, persis prediksi mu. Dia menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahnya. Mengikuti beberapa lomba. Dan banyak lagi. Aku yakin kau pasti sangat bangga, kkkk. Begitupun aku.

Cepatlah kem-







"Pa..." kuputuskan untuk memanggilnya. Ia menghentikan tulisannya, lalu menoleh padaku. Sial, tatapan itu selalu saja mengundang haru ku. Segera saja aku tersenyum sembari menyimpan kedua tanganku ke dalam saku tiap sisi celana.

"Kau pasti sangat terkesan. Aku menggoreng ayam dengan gayamu dan bumbu buatan nenek. Kubuat jus jeruk juga," aku berjalan menghampirinya, melayangkan kecupan ringan pada pipi yang kian menirus itu.

"Oh ya? Wah... kalau begitu aku harus segera menyicipinya sebelum dingin," aku melihatnya tersenyum, seperti biasanya. Senyum hampa.

Ia berdiri dan mengusak rambutku beserta menyubit pipi. Berjalan pelan pergi meninggalkan kamar-tempat kegemaran mereka. Sedang aku, masih berdiri di tempat semula. Memperhatikan untaian kata dari surat yang telah ia tulis tiap harinya.

"142." kuambil kertas tersebut, membawanya pada kotak merah hitam dekat lemari. Membukanya lalu meletakan kertas ke tumpukan kertas lainnya. Segera ku seka air mata yang kurang ajarnya keluar. Lalu segera kuhampiri Papa.

"Kita makan, Pa." ujarku setelah mendudukkan diri pada kursi di hadapannya. Masih sama, menyisakan satu piring terbuka di kursi kosong sampingnya.

"Biar kuambilkan," tangannya terjulur untuk mengambil piringku. Memberinya sesendok besar nasi dan beberapa lauk yang kumasak.

"Pa, setelah sarapan nanti aku ingin mengajak Papa bertemu seseorang." ujarku sembari menerima piringku kembali.

"Baiklah, sepertinya aku akan segera memesan WO setelah ini,"

"Pa, ayolah."

"Kkk, iya-iya." tak ada sepatah kata lagi selain adu denting alat makan. Setelah selesai dengan makananku, aku mengambil sepiring kecil dengan beberapa pil juga kapsul di sana.

"Papa melupakannya tadi,"

"Oh benarkah?" kuperhatikan beliau memasukkan tiap butir pil serta kapsul itu untuk dicerna dengan bantuan segelas air dalam genggaman. Setiap pagi pemandangan yang kulihat selalu sama. Harapanku selalu sama setiap waktu. Jadi tolong tuhan, kabulkan doaku.

Baru kali ini aku melihat Papa tersenyum bahagia. Ia seperti diingatkan kembali bahwa kebahagiaan masih menyertainya. Hampir saja air mata ini lolos ketika kedua manikku menangkap papa yang langsung tersenyum senang melihat calonku. Mereka bahkan bersenda gurau, sedikit melupakan keberadaanku. Tak apa, ini sudah sangat terbaik untukku.

"Pa, ini Win. Dia seniorku, dan-"

"Win? Ohoo, jadi ini Win yang sering kau ceritakan dan kagumi? Oh astaga, bagaimana bisa? Apa kau sudah terkena mantra playboy milik Marc?"

"Pa..."

"Ya tuhan, akhirnya mata minus mu jernih juga sekarang. Lihat! Betapa manisnya calon mu, Marc.."

"Calon?" bahaya, sifat luwes Papa kembali. Semoga saja tidak aneh-aneh. Aku melihat guliran mata usil dari si kaca mata.

Ya, benar saja. Habis semua rahasiaku. Mereka sibuk membicarakan aku yang jelas-jelas ada di antaranya. Tapi tak apa. Berkati Win, aku kembali melihat cerianya Papa sekarang. Walau beberapa kali membahas masa muda dan kisah cinta Papa, ia sama sekali tak melunturkan senyum. Kami benar-benar menghabiskan waktu hingga restoran yang kami tempati akan tutup. Win setidaknya tahu bagaimana kondisi Papa sekarang. Yang kukira awalnya Win akan menolakku, ternyata sangat bertolak belakang.

"Paris. Bagaimana jika di Paris?"

"Maksudmu?"

Aku melihat senyumnya mengembang, sembari mengusap suraiku ia menjawab.

"Kurasa kau tahu jika kita tidak bisa melangsungkannya di sini," ia menyematkan mengecup pipiku sebelum memberi ucapan selamat malam, lalu berlalu memasuki rumahnya. Aku menghangat. Kulihat dari luar kaca mobil, Papa melihatku dengan senyuman tulus.

"Bukankah ini bayi besar yang selalu merengek untuk dikuncir dua ketika akan bermain? Apa aku melewatkan begitu banyak waktu? Hingga tak sadar kau sudah dewasa," kata Papa sejenak setelah aku kembali masuk ke mobil. Papa yang duduk di sampingku mengusap pipiku dengan kedua manik yang berkaca.

Segera saja kurengkuh badan yang mengurus itu dan memeluknya sembari mengucapkan beribu kata sayang padanya. Bagai tak ada hari esok, kukatakan semua hal yang kupendam selama setahun ini. Kusandarkan kepalaku pada bahu ringkihnya, menumpahkan segala rasa yang kubungkus dengan rasa 'sok kuat'. Memanggilnya berkali-kali dengan tersengal karena tangisku. Cengeng? Biar. Sudah sangat lama sejak aku menangis dan bermanja pada Papa.








Hai, Non. Apa kabar? Marc memberi tahuku. Selama ini, aku telah menghabiskan 142 lembar surat hanya untukmu. Dan ya, Marc juga yang menyimpan semua surat yang kutulis. Pagiku selalu disambut dengan kesunyian. Lampu tidur yang biasa kita matikan sebelum tidur, tidak pernah kuhidupkan kembali. Tirai yang kau tutup sebelum kita tidur, tak pernah lagi kubuka. Tak ada lagi lesung pipi penyambut pagiku. Tak ada lagi keusilanmu dalam mengganggu hari-hariku. Kemana? Aku harus mencarinya kemana? Malamku selalu diselimuti mimpi buruk, tanpa ada peluk hangatmu untuk ingatkan aku bahwa masih ada kebahagiaanku. Gitar itu hanya terpajang di atas kursi hingga debu menghinggapi, minat musikku hilang beriringan perginya melodiku.

Tapi tadi, aku kembali menemukan cahaya hangat. Aku, seperti melihat kita yang dulu. Bagaimana bisa aku tidak bahagia mengetahui Marc telah menentukan pilihannya. Dia sungguh sangat mirip denganmu, aku.... Lalu bagaimana caranya aku melupakanmu? Jika kau saja masih menitipkan 90% dna mu pada Marc. Tidak, tidak akan. Kau akan selalu menjadi kenangan indahku.

Nanon~

Sungguh aku sangat merindukan memanggilmu begitu.

Ai Chimon.

Bisakah aku kembali mendengar panggilan itu? Hanya sekali saja, bisikan pada mimpiku. Kumohon.

Kau tidak perlu khawatir lagi, aku berjanji akan berubah mulai sekarang. Aku tidak akan menangis jika tidak perlu, aku akan bahagia sebagai mana permintaanmu dulu, aku akan menjaga Marc lebih baik lagi. Dan, selamat hari jadi pernikahan ke-19. Hadiahku kali ini, adalah surat ke 143 ku untukmu.

Peluk dan kasih tersayang
Persikmu.




























🔸Ingin memberi saran, kritik, request, atau perizinan peminjaman ide cerita untuk dikembangkan sendiri?

(Silakan kembali ke awal)

Terimakasih atas kesediaannya ^^

Midyear Library [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang