Sekolah (01)

4 1 0
                                    


Ruang guru. Kosong. Kami meneruskan pencarian sampai ke ruang bk.

"dimana anak yang melakukan hal menjijikkan itu pada anak saya!" kata seseorang dari dalam ruang bk. Aku menoleh ke anggit yang ngos-ngosan di belakangku.

Kami berdua sudah sampai di depan pintu. Dan terdengar suara ribut-ribut dari ruang bk.

"tenang pak, tenang. Kita bicarakan baik-baik." Kata yang lainnya, mungkin guru, mencoba menenangkan.

"tenang kata bapak?! Panggil bajingan itu sekarang juga!" teriak seseorang. Sekejap kemudian, pintu terbuka. Dan aku masih berdiri di depannya.

"nael?" kata seseorang. Ah itu suara rupa.

"jadi ini, bajingan yang berani melakukan hal menjijikkan itu?" kata laki-laki di depanku. Kemudian dia meninju mukaku mentah-mentah. Aku jatuh setelah terlebih dulu menabrak anggit. Untung ada badannya yang bongsor, jadi jatuhku tidak sakit-sakit amat.

"apa maksudmu melakukan tindakan tidak beradab itu hah?!" teriak laki-laki itu. Kupikir beliau adalah papanya rupa.

"bukan saya yang melakukannya," Kataku setelah bangkit berdiri. "juga bukan rupa." Imbuhku. Tapi bapaknya rupa itu malah meninju perutku. Lagi-lagi aku jatuh. Sekarang langsung ke tanah. Tidak mendarat mulus di tubuh anggit.

"kita lanjutkan obrolan di dalam saja pak. Malu dilihat anak-anak lain." Kata bu mega, salah satu guruku. Kemudian aku, termasuk juga anggit, di giring ke dalam ruang bk.

Di dalam sana, aku duduk di kursi di samping orangtuanya rupa. Disampingnya baru ada rupa yang rupanya sudah menangis sejak semalam mungkin. Sedangkan anggit berdiri di sampingku. Ada bapak kepala sekolah dan beberapa guru termasuk bu mega di ruang itu.

"panggil walimu dulu, nael." Kata bu mega, kemudian menyodorkan telepon sekolah.

Sesuai hasil berunding tadi malam, aku menelepon nomor bang lindu untuk datang ke sekolah. Jam-jam segini seharusnya bunda masih sibuk berbelanja di pasar. jadi bang lindu bisa pergi dengan bebas.

"halo, bunda?" kataku setelah telepon terhubung. Yah, biar mereka semua percaya saja kalau aku menelepon bunda, makanya aku memanggil bang lindu dengan kata bunda.

"eh, itu, anu, bisa tolong datang kesini?" tanyaku gugup. Pura-pura saja sih. Kemudian hal tak terduga terjadi. Telepon itu di rebut kasar oleh papanya rupa.

"halo. Segera datang ke sekolah secepatnya. Anak tidak beradab Anda ini membuat masalah dengan puti saya!" katanya. Kemudian telepon mati. Aku yakin sekali dirumah sana bang lindu pasti sedang mengomel.

"kita teruskan setelah orang tuanya datang!" lanjutnya setelah mengembalikan telepon. Kami semua akhirnya diam.

Mungkin sekitar 10 menit, karena rumahku memang dekat, bang lindu sampai di sekolahku. Dia basa-basi bilang maaf karena bundaku tidak bisa datang karena sedang pergi, kemudian dialah yang menggantikannya. Aku berdiri dari dudukku, kemudian nyengir ke arah bang lindu. Pandai juga aktingnya.

"kamu kenapa?" tanyanya begitu melihat mukaku. Yah, hidungku mengeluarkan darah sejak tadi karena tonjokan papanya rupa. Aku nyengir, tidak menjawabnya, mempersilahkan bang lindu duduk di samping papanya rupa. Sedangkan aku berdiri di samping anggit. Kemudian bapak kepala sekolah mulai menjelaskan duduk masalahnya. Bagaimana video asusila antara aku dan rupa sudah tersebar. Padahal itu jelas bukan kami.

"kita langsung saja." potong papanya rupa, "saya minta bajingan itu dan anak saya untuk segera di nikahkan." Lanjutnya.

"hah? apa-apaan Anda? Belum ada bukti yang kuat, bahwa—"

"masih perlu bukti apa? video itu sudah tersebar!" potong papanya rupa tidak sabaran.

"masak, bapak tidak mengenali putri sendiri? Jelas-jelas itu bukan putri bapak, dan juga tentu bukan adik saya." kata bang lindu tenang.

"halah, Anda yang buta sampai tidak mengenali adik Anda sendiri." Kata papanya rupa. Bang lindu berdecak.

"tenang bapak, tenang. Kita bicarakan baik-baik. Kita dengarkan dulu penjelasan dari anak-anak ini." kata bu mega menengahi. Kemudian dia meminta rupa untuk menjelaskan apa yang dia lakukan denganku kemarin sore.

Sampai saat rupa hendak bilang bahwa yang dilihatnya adalah gama dan teman perempuannya, pak kepsek datang memotong pembicaraannya.

"lalu kalian berdua masuk ke dalam dan melakukan hal tidak senonoh itu? Di perpustakaan atas? Di sekolah ini?" katanya sok tahu.

"bukan begitu pak. Dengarkan dulu ceritanya." Kataku jengkel. enak sekali bapak kepsek ini mengarang-ngarang cerita.

"apa lagi yang harus di dengarkan anak nael? Bukankah sudah jelas apa yang terjadi lewat video itu?" katanya. Aku maju selangkah, hendak meninjunya, tapi bang lindu mencekal tanganku. Anggit di sampingku ikut menahan bahuku.

"coba bapak lihat baik-baik! Dari mananya yang saya? Jelas rambut saya cepak begini. Sedangkan di video rambutnya sedikit panjang. Bapak buta?" kataku.

"anak muda jaman sekarang kan pintar mengedit." Katanya sambil terkekeh. Sumpah demi apapun, aku ingin sekali menonjok mukanya yang gila duit haram itu. 

SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang