Akhir

3 1 0
                                    

Sampai di rumah, sudah macam narasumber terkenal. Dua saudaraku yang lain sibuk mengerubungi kami sejak masuk ke gerbang.

"bagaimana?" tanya bang noel. Bang lindu melirik sekilas, kemudian berlalu bergitu saja.

"gimana sih?" tanya bang noel lagi. kali ini keaku.

"kena fitnah. Suruh nikahlah. repot. Pusing aku." jawabku, kemudian melenggang masuk mengikuti bang lindu.

Bang noel mengejarku, bertanya satu dua hal lagi yang kujawab dengan 'tidak tahu' kemudian dia akhirnya menyerah untuk bertanya-tanya lagi. apalagi bertanya ke bang lindu yang sejak keluar dari ruang bk tadi mukanya menyeramkan sekali.

"kita tunggu bunda pulang." Kata bang lindu setelah mengambil segelas air minum. Kami berempat berkumpul di meja warung. Sesuai komando bang lindu, menunggu bunda pulang dari belanjanya bersama mbak asih.

Kami berempat menunggu dalam diam. Karena hawa-hawa bang lindu yang sejak tadi tidak mengenakkan, juga aku yang memutuskan untuk bersembunyi di lipatan tangan. Mencoba tidur untuk mengganti jatahku semalam. Hidungku yang tadi kena tonjok kata mas galih tidak apa-apa. tidak patah. Jadi tadi hanya di kompres sebentar.

Setengah jam aku tertidur, bang galih mengguncang bahuku pelan. Suara yang pertama-tama aku dengar adalah tangisan bunda. Aku menatapnya dari kursi aku duduk. sementara bunda ada 2 meja di depanku. Di samping bunda, ada bang lindu yang menceritakan apa yang terjadi secara cepat dan bang noel yang sibuk mengelus-elus pundak bunda. Aku menarik napas perlahan, kemudian kembali menyembunyikan mukaku ke lipatan tangan. Ahhhhhhh, bunda menangis.

Seseorang menyentuh bahuku lagi. aku memastikan kalau itu tangan bunda, karena terasa kecil dan lembut. Aku memastikan untuk tetap menyembunyikan muka saja. malu ke bunda.

"nael?" kata bunda lembut. Ah, ingin menangis. Aku mengerutkan tanganku.

"nggak papa. Bunda percaya itu bukan nael." Kata bunda sambil menepuk-nepuk pundakku pelan. Ahh, bunda diam saja. aku ingin menangis.

"sekarang nael maunya bagaimana. Bunda ngedukung nael. Kakak-kakak nael juga. Maaf, bunda nggak punya power sebesar papanya gama." Katanya. Aku bangkit. Memeluknya. Lalu menangis seperti anak kecil. Bunda mengelus bahuku pelan. Kemudian tiga abangku itu ikut bergabung. Jadilah kami teletubis.

Kegiatan berpelukan kami terpaksa terganggu karena mendengar suara mobil dari arah depan. Mbak asih takut-takut bilang kalau ada tamu yang datang. bang lindu yang pertama kali melepas pelukan, disusul bang galih dan bang noel. Aku memandang bunda lagi beberapa saat, kemudian menyusul tiga abangku ke depan.

"kita selesaikan dengan cepat." Suara tamu itu menyambutku. Di belakangku ada bunda. Sementara tiga abangku sudah mengambil posisi ingin bertarung dengan bang lindu sebagai pusatnya.

Saat bunda hendak melangkah maju, aku mencegahnya. Menggeleng. Menyuruhnya untuk tetap di belakang kami saja. aku segera menyusul formasi abang-abangku setelah bunda akhirnya setuju untuk tetap di belakang kami.

"kalian mau di proses secara hukum, atau kekeluargaan?" tanya papanya rupa tanpa basa-basi. Rupa berdiri di belakangnya, menatap barisan abangku yang siap tarung itu takut-takut.

"apanya yang di proses? Bukan adik saya pelakunya." Kata bang lindu dingin. Kalau mereka bertiga ini anjing, pasti kalian mendengar geraman rendah dari mulut mereka.

Sementara tiga abangku ribut berdebat dengan papanya rupa. Aku memutuskan untuk melihat rupa yang berdiri takut-takut di belakang papanya. Entah kenapa, sejak tadi dia terlihat berbeda sekali dengan rupa yang aku temui kemarin sore. Lebih murung dan pendiam. Rasanya dia seperti tertekan oleh sesuatu. Mungkin karena papanya. Papanya galak sih. Dan terlalu dominan.

Rupa balas menatapku. Meski terlihat takut-takut, entah kenapa aku merasa dia meminta tolong lewat tatapannya. Kemudian dia memutuskan kontak mata. Bang lindu, dibantu dua abangku yang lain, dan papanya rupa masih sibuk berdebat. Bunda menyentuh pundakku dari belakang. Aku menoleh.

"kasihan." Kata bunda sambil menatap rupa. Aku ikut menatapnya.

"dia minta tolong kan?" tanya bunda meminta pendapat. Aku mengangguk. Bunda memang makhluk paling peka di dunia. Bunda tadi juga bilang, sesaat sebelum aku melepaskan pelukan, kalau dia menangis untuk rupa, bukan untukku. Bunda juga bilang kalau kami harus menolongnya.

Mau bagaimanapun juga, meski dunia tahu ini fitnah, yang paling dirugikan secara mental adalah rupa. Apalagi melihat papanya yang sejak tadi bicara kasar dan berteriak-teriak, bahkan sejak di ruang bk tadi. Sudah jelas kalau apapun hasilnya, sejak semalam, papanya memang berniat 'membuang' rupa dengan cara menikahkannya padaku. Mungkin karena video itu mencoreng nama keluarga rupa sehingga papanya harus segera memilih antara membuang putrinya atau membuang nama keluarga. Dan itulah yang papanya pilih. Membuang rupa. Memang rumit sekali cara berpikir orang kaya.

"saya akan menikah dengan rupa. Secepatnya." Kataku akhirnya. Kemudian berbalik. Masuk ke rumah. Aku dengar tiga abangku yang marah-marah dengan keputusanku. Nanti-nantilah aku jelaskan kenapa aku memilih untuk menikahi rupa. Tentu bukan karena video itu memang benar. Tapi kalau kalian lihat wajah rupa, kalian pasti tahu kalau dia tetap akan 'dibuang' bagaimanapun caranya bahkan ketika aku menolak menikah dengannya. Dan kupikir, itu buruk sekali untuk rupa. Dibuang oleh keluarganya hanya untuk 'membersihkan nama baik'. Kalau tidak bergabung dengan keluargaku, harus ke siapa? tidak mungkin dia hidup luntang-luntung sendirian.

Sampai malam hari, aku berhasil sembunyi-sembunyi dari bang lindu. Selain karena dia sibuk mengurus ini itu karena perintah bunda, aku juga sejak tadi langsung masuk ke kamar. Mengunci pintu. Rebahan. Tidur. 

SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang