Bab Tak Berjudul 7

5 1 0
                                    


Keluargaku masih membicarakan hal-hal terkait pernikahanku setelahnya. Aku pamit ke kamar untuk melanjutkan tidur. Ingin menangis. Ingin lari. Ingin sembunyi. Tapi telepon sialan milikku berdering. Menampakkan nama 'si babi' disana.

"halo,iya apa?" tanyaku malas. Sudah siap menangis malah diganggu.

"el, bisa ke taman deket sekolah nggak? Sekarang? Ini ini, aku nemu rupa di sini pas nyari makan." Katanya. Aku mengernyit. Rupa? Malam-malam begini? Kenapa?

"otw." Balasku, kemudian mematikan telepon.

"bunda, nael pergi dulu." kataku begitu membuka pintu sambil memakai hoodie yang aku temukan di balik pintu.

"mau kemana?" tanya bunda.

"ke taman, sebentar." Jawabku.

"hoi, jangan macem-macem kamu. Itu hoodieku, woi! Nael!" teriak bang noel. Aku sudah menuruni tangga. Mengabaikan ucapannya. Kemudian sedikit berlari untuk menuju taman yang dekat sekali dengan rumahku.

Tidak ada 5 menit. Aku sampai di taman. Di dekat warung sate lebih tepatnya. Anggit sedang makan disana, sedangkan rupa, ah aku tidak tahu jenis ekspresi apa yang sedang dia tampilkan.

"rupa?" panggilku. Dia menoleh.

"nael." katanya lirih. Aku menghampirinya, kemudian duduk di sampingnya.

"kenapa? Kenapa tidak pulang?" tanyaku lembut. Sekacau apapun aku saat ini, di depan wanita tetap harus kalem. Begitu sih kata bunda. Rupa menangis, aku menyediakan bahuku sambil merangkulnya.

"maaf." Katanya sambil sesengukan. Aku menatap tumpukan arang yang menyala merah.

"maaf." Katanya lagi.

"kenapa? Kenapa harus minta maaf?" kataku pelan, rupa malah semakin menangis.

"kamu keberatan kita menikah?" tanyaku.

"HAH, KALIAN?" teriak anggit. Ah aku lupa si babi sedang makan di samping kami, "kalian akan menikah?" tanyanya memastikan bahwa telinganya masih bekerja dengan baik. Aku mengangguk.

"kapan?" tanyanya.

"akhir minggu ini." jawabku singkat. Anggit berhenti bertanya.

"kamu, keberatan?" tanyaku lagi. rupa menggeleng.

"terimakasih," katanya. "aku awalnya harap-harap cemas, yakin kalau kamu dan keluargamu akan menolak. Tidak menyangka kalau kamu akan menerimanya begitu saja." lanjutnya. Aku diam. Kelihatanya dia masih ingin bicara. Anggit menyodorkan segelas teh hangat yang langsung di terima rupa dengan senyumannya.

"aku tidak tahu bagaimana nasibku selanjutnya seandainya keluargamu tidak mau menerimaku. Aku takut. Tapi, sekarang ada kamu. Bisa, aku percaya kamu?" katanya sambil melihatku. Aku menatapnya. Kemudian mengangguk.

"terimakasih." Katanya. Kemudian tangisnya berhenti. Seterusnya kami berdua diam saja sampai anggit dan rupa menghabiskan satenya.

"nggit, pamit pulang ya." Kataku. Sesuai janji dengan bunda, hanya sebentar aku pergi.

"hati-hati, maaf nggak bisa bantu banyak-banyak." Katanya. Aku mengangguk. Tidak masalah. Entah kenapa, sejak mendengar kata-kata dari rupa tadi, sisi laki-lakiku ingin sekali terlihat keren di depannya. dasar remaja puber!

"rupa, nggak pulang?" tanyaku karena rupa tidak beranjak. Dia menatapku sebentar, kemudian menggeleng sambil tersenyum.

"kenapa?" tanyaku.

"aku kabur, nael. kabur. Bosan dirumah yang selalu menekan dan menyalahkan." Katanya. Aku berjalan mendekat.

"eh, itu, anu, ah, itu, mau, mau ke rumahku saja?" tanyaku setelah kikuk sendirian. Pipiku panas. Rupa tertawa senang, kemana rupa yang sedih dan menangis tadi?

"boleh?" tanyanya.

"eh, boleh sih, mungkin." Kataku lirih.

"saudaramu?" tanyanya.

"mereka juga akan jadi saudaramu." Kataku. Rupa tertawa lagi.

Begitulah. Akhirnya aku pulang dengan rupa ke rumahku. 

***

Kami berdua berdiri diam di depan rumah. Warung tutup malam ini. jadi pintu toko tertutup. Rupa menyentuh tanganku pelan, mencari pegangan. Akhirnya dia memegang hoodie milik bang noel yang aku pakai sembarangan.

"tarik napas, buang, satu dua, ayo!" kataku. Entah apa yang akan dikatakan abangku itu nantinya. Pasrah saja lah. Mana mungkin aku tiba-tiba mengusir rupa setelah aku mengajaknya ke rumah.

Aku masuk kerumah, naik tangga. Rupa di belakang masih mengintil sambil memegangi hoodie bang noel.

"nah, ini dia orangnya. Baru mau dicariin kirain bunuh diri." Sapa bang noel. Aku nyengir.

"assalamualaikum." Kata rupa di belakangku sedikit bergeser.

"eh?" kata bang noel. Baru sadar kalau ada rupa. Yah, tubuhnya memang kecil sih. Pantas kalau tidak terlihat jika berdiri di belakangku.

"bundaaaaa, nael bawa calon istri pulang!" teriaknya lantang. Aku menendang tulang keringnya keras-keras karena kaget. Kalau begini kan aku malu.

"siapa?" susul bunda di belakang bang noel, "oh, rupa?" katanya ceria. Aku menggaruk kepalaku. Bukan aku yang dipanggil tapi kenapa aku yang gugup begini.

"halo tante." Sapa rupa. Mulai maju ke depan, kemudian menyalami tangan bunda.

"panggil bunda aja, sayang." Kata bunda sambil tersenyum, kemudian membimbing rupa untuk masuk. Diikuti bang noel, dan terakhir aku sambil menutup pintu. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang