"Ini apa mas?"
Kirana melemparkan selembaran foto yang ia temukan di salah satu forum di internet. Dari nadanya saja sudah menggambarkan awan mendung dalam bahterai rumah tangga mereka.
Bima, sang suami, sekaligus aktor yang sedang naik daun, acuh tak acuh melihat selebaran yang dilemparkan di depannya. Dihelanya nafas kesal melihat tingkah istrinya yang selalu curigaan.
Bima pun berkilah, "Mau sampai kapan kita berputar-putar seperti ini? Sudah aku bilang dari awal kalau itu cuma settingan doang-"
Tapi belum selesai Bima dengan ucapannya, Kirana kembali melempar selembaran yang lain. Sebuah foto Bima bergandengan tangan dengan lawan mainnya di luar lokasi syuting.
Bima mengusap wajahnya frustasi. "Cuma ber-"
Oke Kirana paham, kebutuhan kemistri. Kemudian Kirana mengeluarkan foto lainnya. Foto Bima dan lawan mainnya makan berdua dan lagi-lagi di luar lokasi syuting.
"Itu hanya makan."
Oke paham. Kirana kembali mengeluarkan foto yang lain. Foto Bima dan lawan mainnya berpelukan di luar lokasi syuting.
"..."
Tentu saja itu kurang, Kirana kemudian melancarkan serangan terakhir, foto Bima dan lawan mainnya keluar masuk hotel.
Bima tidak bisa berkata-kata lagi. Dia bungkam sepenuhnya.
"Kok diam?"
"Emang maunya gimana?"
Kirana langsung menarik napasnya dalam. Bahkan sekarang saja Bima tidak terlihat bersalah, malah terlihat marah. Laki-laki itu membalas tatapannya seolah sedang menantangnya.
Kirana sudah tidak bisa menahannya. Dia tidak bisa lagi menjadi tiang yang menyangga rumah tangganya.
Kirana menyerah.
Tapi ketika Kirana hendak meledak, dia malah teringat anak-anak dan ibunya. Mendadak Kirana menelan semua rasa sakitnya sekarang. Dia balas terdiam. Berganti dengan air mata yang bersuara.
"Aku capek mas. Sudah cukup aku lihat kamu bermesraan dengan perempuan lain di TV. Aku bisa tahan karena itu cuma settingan. Tapi..." Kirana benar-benar frustasi. "Kenapa sih? Apa kurangnya aku? Aku selalu ada untuk kamu, semuanya aku berikan."
Semuanya telah ia berikan.
Kirana merasa bodoh mendengar kata-katanya sendiri.
Tapi ketika dirinya berusaha mengalah sampai merendahkan diri, Bima masih betah dengan egonya. Laki-laki itu malah membuang wajahnya tak peduli.
Kirana yang melihat itu tidak bisa lagi untuk sekedar marah. Seperti ucapannya, dia benar-benar capek. Sontak Kirana kembali mengingat ucapan ibunya.
"Bener kata ibu-"
Mendengar itu, Bima langsung tersulut. "Ibu? Liat sekarang, dari siapa ibumu makan?"
Raut wajah Kirana kembali tegang. Emosi yang dia tekan mencapai batasnya dan meledak lebih besar dari sebelumnya.
Ditamparnya Bima dengan keras.
Rasanya Kirana masih bisa menerima kalau Bima merendahkannya, tapi Kirana tidak bisa membiarkan orang lain merendahkan ibu dan anak-anaknya, termasuk suaminya sendiri.
"Jangan hina ibu aku!" tukas Kirana geram.
Bima terdiam, sorot matanya begitu nyala. Tapi pada akhirnya laki-laki itu hanya mendesah. "Sudahlah. Aku sudah capek. Terserah kamu aja."
Setelah mengatakan itu, Bima langsung pergi dari rumah. Begitupun dengan Kirana, malam itu, dengan dipenuhi amarah, Kirana membawa anak-anaknya pergi dari rumah.
---
Ninah terkejut saat membuka pintu pagi-pagi, ia mendapati anak cucunya berdiri di depan rumah.
Ini semua seperti mimpi.
Senyum bahagia langsung terpancar dari wajahnya, Ninah langsung menghambur memeluk mereka.
"Ada apa sayang? Kok pulang nggak bilang-bilang nenek," tanya Ninah menatap cucu-cucunya.
Andrian langsung membuka mulutnya saat pandangannya bertemu dengan Ninah, tapi ditahan oleh kakaknya.
Ninah menatap mereka heran.
Kemudian Ninah mengalihkan pandangannya pada Kirana yang berada di belakang cucu-cucunya dan Ninah langsung menyadari ada sesuatu saat pandangan mereka bertemu.
Kirana langsung berhambur memeluknya, tubuhnya bergetar hebat.
Disana Ninah sudah paham semuanya.
Ninah memang sudah membuang TV empat puluh inchinya, tapi dia tahu masalahnya pasti ada disana.
Lambat laun memang akan seperti ini.
Bima adalah laki-laki brengsek. Dari gerak-geriknya saja sudah kelihatan, bukan sekali dua kali Ninah mengingatkan anaknya, tapi Kirana selalu saja berkelakar kalau itu cuma settingan.
Meskipun settingan tetap saja tidak etis.
Ditambah si Bima itu tidak mau terbuka soal keluarganya, sebagian besar mungkin tidak tahu kalau bandot itu sudah menikah.
---
"Tapi mamah senang Nana pulang," ujar Ninah.
Kirana balas tersenyum tipis. Sekarang mereka duduk berdua di ruang tengah, Andrian dan Clara sudah pergi ke kamar mereka untuk istirahat.
"Maaf, Kirana jarang pulang."
"Sudahlah nggak apa-apa. Yang jelas kamu udah tau gimana tabiat suami kamu sebenarnya."
Ninah duduk di samping sambil mengusap-ngusap sayang punggung sang anak. Sedangkan Kirana menyandarkan penuh tubuhnya pada sang ibu.
Satu tempat yang tidak akan mengkhianatinya.
Satu tempat yang akan menerima dirinya dalam segala keadaan.
Satu tempat yang bahkan masih merentangkan lebar tangannya meskipun telah dia tinggalkan.
"Terus sekarang mau gimana?"
"Rara ingin pisah mah."
"Bagus sih kalau kata mamah."
"Tapi... " Kirana menggigit bibir bawahnya ragu. "Clara dan Andrian."
Ninah terdiam. Dia paham betul masalahnya. Akan ada anak-anak yang terdampak jika salah mengambil keputusan.
TBC
Gimana geng?
Lanjut jangan?
.
.
Follow akun di bawah untuk mendapatkan informasi lebih lanjut :
Instagram : enzvi_
Wattpad : enzvi_
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter : Life goes on
General Fiction[UPDATE SETIAP HARI JUMAT] "Aku akan memperbaiki semuanya," kata Bima. Terdengar seperti orang tua yang menghilangkan tangis sang anak dengan memenuhi keinginannya. Kirana menghentikan langkahnya, dia menoleh dan bertemu pandang dengan Bima. "Nggak...