2. I Scream

65 11 10
                                    

Irene kembali, entah sejak kapan langkah kakinya membawanya kembali ke rumah itu. Ia kini berdiri di depan pintu masuk dengan pikiran yang kalut, saat ingin meraih knop pintu Irene kembali ragu. Gerakannya terhenti sesaat sebelum akhirnya ia membuka pintu usang dihadapannya.

Itu adalah rumah kecil dipinggiran kota, terlihat tak terawat sekarang. Tentu saja itu karena bertahun-tahun rumah itu ia tinggalkan. Benar, sejak anak itu pergi dan kemalangan terus menimpanya, Irene mau tak mau harus meninggalkan rumah itu.

Gadis itu melihat ke sekeliling, barang -barangnya dulu masih tertata rapi ditempatnya. Hanya ada debu yang cukup tebal bertumpuk diatasnya. Pandangan Irene jatuh pada kasur lipat disudut ruangan, melihat kasur lipat itu ia kembali mengingat masa-masa itu.

Irene yang saat itu bingung, ia juga panik. Anak yang dibawanya mendadak terkena demam, dan Irene tak tahu harus berbuat apa. Jika membawanya ke rumah sakit biayanya pasti akan sangat mahal. Ia mulai berfikir untuk merawatnya sendiri.

Saat ingin mengganti bajunya Irene terkejut melihat banyaknya luka ditubuh anak itu, ia mulai berpikir apakah anak ini korban kekerasan?. Setelah membersihkan dan memakaikan pakaian, Irene kemudian mengompres anak itu agar demamnya turun.

Irene tak tahu siapa anak itu, tapi yang jelas Irene merasa ia dan anak itu sama. Sama-sama kesepian. Itu terlihat ketika ia tersadar sesaat setelah sampai dirumah, anak itu tersenyum sebelum jatuh pingsan lagi. Dan jujur, senyumannya itu membuat hati Irene terenyuh. Dan entah mengapa ia merasa tak akan kesepian lagi.

Mengingat kembali masa itu membuat Irene sadar bahwa kini ia merindukan anak itu, Irene berjalan pelan menuju kasur lipat itu. Ia mengambilnya, lalu menggelarnya. Sama sekali tak mempedulikan debu yang dikasur lipat itu, ia tertidur dengan nyaman diatasnya. Sesekali Irene terbatuk saat tak sengaja menghirup debu itu.

Benar-benar hangat, bahkan lebih hangat dari kasur mewah di apartemennya. Dulu kasur lipat yang kecil itu ia pakai bersama anak itu. Saat Irene menanyakan namanya anak itu menggeleng keras, ia seperti ketakutan. Irene yang mengerti pun akhirnya menyerah, tapi melihat tag nama dibaju anak itu. Walaupun sudah robek setengahnya, ia masih dapat melihat potongan Hangul 'hun' disana. Akhirnya Irene memutuskan untuk memanggilnya Hunhun.

Ring...Ring...

Ponselnya yang berdering keras membangukan Irene dari mengingat kenangan lamanya. Ia dengan cepat mengambilnya, saat melihat nama yang tertera disana Irene tertegun. Ia menjadi linglung setiap kali nama itu muncul disekitarnya. Ponsel itu terus berdering tanpa henti, tak ada sedikitpun niat untuk mengangkatnya karena Irene terlalu takut mendengar suaranya sekarang.

Saat ponsel itu berhenti berdering, Irene bergegas keluar dari rumah kecil itu. Ia berlari dengan cepat menuju halte terdekat. Gadis itu tak punya pilihan lain selain berlari kearah petakanya sendiri, apa yang Irene dapat dari membangkang pada saat itu adalah hukuman yang sangat berat dan ia tak mau mengalami nya lagi.

Tak sampai satu jam Irene sampai di apartemennya, ia membuka pintu apartemen dengan gugup. Dalam hati Irene berharap, orang itu sudah lelah menunggunya dan pergi. Tapi tak sesuai dengan harapannya, orang itu menunggu Irene dengan segelas wine ditangannya. Ia menghadap ke jendela kaca besar sambil menggoyangkan gelas winenya pelan.

"Aku pikir aku sudah memperingatkanmu untuk selalu mejawab telponku, tapi sepertinya kau tidak mendengarkannya Bae Irene." Ucapnya dingin, Irene sedikit terkesiap saat mendengar suara itu. Ia dengan ragu melangkah maju menghampiri orang itu.

"A-aku, aku...maaf...maafkan aku..." Orang itu adalah Minhyuk, semua tentang Minhyuk selalu menjadi petaka bagi Irene.

"Bersimpulah sekarang." Mendengar itu, Irene langsung menuruti perintahnya. Ia bersimpuh dengan tangan yang gemetar, Irene harus siap dengan kemungkinan terburuk.

At My WorstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang