Nala menunduk cemas, meremas roknya tanpa berani mengangkat kepala. Guru itu memperhatikannya, lalu mengelus pundaknya dan mengalihkan pandangan ke depan.
“Baik, semoga kalian bisa menerima dan berteman dengan Nala. Silakan duduk, Nala,” kata guru itu dengan senyuman ramah di bibirnya. Nala merasa sedikit tenang, ia berjalan menuju tempat duduk paling depan karena ia melihat bangku itu kosong.
Ketika ia akan duduk, sang guru memanggilnya, “Nala, jangan duduk disitu, duduklah di belakang bersama anak perempuan lainnya.”
Nala memandang sekitar, dan ia baru menyadari kalau semua tempat duduk bagian depan diisi oleh lelaki, hanya ada lima anak perempuan yang duduk paling belakang. Ia mengangguk mengerti dan berjalan menuju tempat duduk paling pojok, kursinya reyot dengan meja berdebu dan jamur yang memenuhi lokernya.
Nala hampir saja terbatuk namun ia tahan karena guru di depan sudah memulai pembelajaran hari ini. Ia mengeluarkan buku dan kotak pensilnya, ia tahu para anak perempuan itu pasti sedang membicarakannya. Dengan gelagat dan suara berbisik yang sampai ke telinganya membuat Nala mengepalkan tangan.
Ia tidak tuli, ia masih dapat mendengar semua makian yang mereka lontarkan tentang ayahnya. Nala mengembuskan napas dan memejamkan matanya sejenak, setelah merasa tenang, ia fokus mencatat penjelasan yang sedang diberikan di depan. Kali ini ia memilih untuk ‘tuli’ sejenak dan tak acuh dengan sekitar.
Tiga jam pelajaran pun berlalu, bukannya pergi ke kantin, semua laki-laki di kelas itu malah mengerumuni Nala. Kecantikannya memang tak dapat disangkal oleh siapapun, ditambah dengan wajah Indonesia namun dengan mata biru cerah yang diwariskan dari ayahnya, membuat Nala terlihat mencolok dibanding yang lainnya.
Brukk
Revan datang dengan membawa tempat sampah yang isinya sudah busuk dan menuangkannya ke meja Nala. Bahkan sebagian bajunya terkena cipratan air dari tumpukan sampah itu.
Seisi penghuni kelas tertawa terbahak dan menjauhi meja Nala. Mereka memandang jijik dengan sesekali melemparinya dengan kertas.
Nala memejamkan matanya, ia ingin menangis sekencang mungkin namun ia tahan. Dengan menangis, berarti ia menunjukkan kepada mereka kalau dia lemah. Nala bangkit dari kursinya dengan membawa sekotak tisu di genggamannya. Ia berjalan keluar kelas diiringi dengan gelak tawa mencemooh.
Bahkan ketika ia sedang berjalan di lorong, setiap orang yang ia lewati selalu tertawa dan kembali melempari Nala dengan apapun yang mereka temukan di sekitar mereka.
Ketika sampai di toilet, Nala langsung menuju wastafel dan mencuci bajunya yang terkena noda, ada tiga orang perempuan lagi disana yang memandang aneh dirinya. Tetapi ia tidak peduli, ini adalah baju yang dibelikan sang ibu dari sisa tabungannya. Ia tak boleh membiarkan baju ini rusak begitu saja.
Setelah ketiga orang cewek itu keluar, Nala memegang erat pinggiran wastafel, tubuhnya meluncur ke bawah dan jatuh ke lantai dengan keadaan terduduk.
Nala meremas dadanya, sesak. Ini baru hari pertama, ternyata ini yang mereka rasakan selama ini. Bulir bening jatuh perlahan dari mata lentik Nala, ia sudah tak dapat membendung kesedihan ini lagi.
Bel masuk berbunyi, Nala segera bangkit dan membasuh air matanya, ia juga mengeringkan bekas noda yang akhirnya sedikit hilang walaupun masih tercium bau tak sedap. Ia hendak keluar dari toilet wanita, ia mendorong-dorong pintunya namun tak ada pergerakan sama sekali. Seketika ia teringat dengan dirinya yang dulu, sama persis namun kini dengan posisi berbeda.
Nala menggedor pintu dengan panik. Lalu kemudian pintu terbuka, seorang cewek dengan pakaian ketat dan rok pendek menertawakan Nala.
“Dasar bodoh, kau tidak pernah diajari ayah koruptormu itu cara membuka pintu?” ejeknya diikuti dengan kedua temannya. Nala menunduk malu, pintu itu seharusnya ditarik dari dalam, bukannya didorong.
Nala menunduk malu disepanjang jalan menuju kelasnya. Setelah sampai, Nala melihat mejanya sudah bersih, namun bau busuk dari sampahnya tak juga hilang. Ia mengeluarkan tisu basah dari tasnya dan mengelap meja sedikit demi sedikit, meskipun bau itu tak sepenuhnya hilang, setidaknya ia dapat meminimalisir kemungkinan ia muntah di kelas.
Seorang guru laki-laki datang memasuki kelas dan berdiri di depan, sekilas guru itu melihat Nala namun kembali mengacuhkanya.
“Baik, selamat pagi semua. Hari ini saya akan mengajar olahraga, jadi silahkan ganti baju kalian, saya tunggu di lapangan tengah,” kata guru itu, sebelum pergi, ia sempat melirik Nala sekali lagi dan pergi meninggalkan kelas. Semua siswa-siswi mulai mengeluarkan baju mereka dan pergi menuju ruang ganti. Tetapi tidak dengan Nala, ia mencoba mengingat apakah ia pernah bertemu guru tadi, mengapa guru itu seolah memperhatikannya?
Nala menggeleng, tidak mungkin, ia bahkan baru saja tiba di desa ini kemarin. Bahkan ia tak mengenal satupun tetangganya.
“Hei, anak baru,” panggil seorang cowok dengan tubuh tinggi dan baju olahraga yang sudah terpasang di tubuhnya.
Nala menengok. “Iya?”
“Cepatlah ganti baju, aku tak mau sampai diomelin guru cerewet itu karena kau.”
Nala menggaruk kepalanya canggung, “Baiklah, di mana ruang gantinya?”
Frendra mengangkat bahunya, “Cari saja sendiri.” Kemudian cowok itu berlalu pergi meninggalkan Nala dengan segala kekesalannya. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Tenang, tenang, batin Nala lalu mengepalkan tangannya dan meninjunya ke atas.
Setelah hampir 15 menit memutari sekolah, Nala akhirnya menemukan ruang ganti itu. Ketika ia akan masuk, teman sekelasnya baru saja keluar dari sana dan pergi tanpa memperdulikan Nala yang melambaikan tangan ke mereka. Nala menggeleng tak peduli. “Semangat,” ucapnya menyemangati diri sendiri.
Nala masuk dan berjejer lah deretan ruang ganti yang lebih kecil. Ia masuk ke salah satunya dan mulai mengganti baju. Semoga hari ini cepat berlalu, batinnya dengan senyum pasrah terukir di bibirnya.
Jingganya dirgantara datang membawa kesenduan, matahari mulai turun dari singgasananya meninggalkan jejak goresan tinta oranye mewarnai langit biru. Nala baru saja pulang dari sekolahnya, ia hendak membuka pintu namun berhenti kala mendengar suara menyeret di belakang, suara khas adiknya. Ia menengok ke belakang dengan senyum bahagia, namun luntur ketika melihat adiknya pulang dengan keadaan kacau dan baju basah.
Nala menghampiri adiknya dengan perasaan cemas.
“Apa yang terjadi? Kenapa kau sampai terluka begini? Bajumu juga kenapa? Kenapa basah?” tanya Nala beruntun lalu berjongkok di depan adiknya. Ia menepuk pundaknya memberi isyarat agar Nathan naik ke punggungnya. Nathan diam membisu begitupun dengan Nala. sepertinya sangat adik juga melewati hari yang sama tak jauh berbeda dengan yang ia alami tadi. Nala membisu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone Behind
Teen FictionSomeone behind. Seseorang di belakang. Ada dalang di balik pembullyan. Ada dalang di balik kematian.