Chapter 3

6 5 0
                                    

Perlahan, ia mulai mengobati luka adiknya. Melihat adiknya seperti ini, membuatnya harus menahan tangis, dan menyimpan dalam-dalam rasa sedih. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan adiknya, ia harus menunjukkan bahwa dirinya kuat.

Setelah diingat-ingat kembali, luka adiknya tepat berada di kaki kanannya—yang cacat— juga terdapat banyak darah. Ia mulai berpikir, apakah adiknya juga terkena bullying di sekolahnya, sama seperti dirinya?

Menghela napas, ia mendongakkan kepala menatap mata sang adik, yang juga menatap dirinya. "Kenapa bisa sampai seperti ini?"

Nathan mengalihkan pandangan, menatap sekitar. Ia tak bisa melihat wajah kakaknya, dan menjawab pertanyaannya. Semua terasa rumit, dan harus dihindari.

Nala mengernyitkan dahi, adiknya seperti menghindari kontak mata dengannya. Ia mengasumsikan jika dugaannya benar, bahwa adiknya ini terkena bullying juga.

Memeluk sang adik, Nala hampir saja meneteskan air matanya. Tapi, dengan kuatnya ia menahan air mata itu, sama seperti kuatnya ia yang menahan semua rasa sakitnya.

Pintu rumah terbuka, menghasilkan suara yang sedikit bising. Atensi Nala dan Nathan teralihkan. Mereka melihat kemunculan ibunya dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Ibu sudah dapat pekerjaan," katanya, membuat Nala dan Nathan hampir saja memekik karena terlalu senang. Ibunya menghampiri mereka, dan memeluknya. Mengucap syukur dengan air mata yang mulai keluar membasahi pipinya.

Sejenak, Nathan merasa lega, karena lukanya telah dibersihkan tepat sebelum ibunya datang. Ia tak mau membuatnya khawatir. Begitu juga dengan Nala, ia merasa senang dan sedikit melupakan masalahnya.

* * *

Keesokan harinya, Nala berangkat ke sekolah. Sejenak, ia berharap jika tidak akan dibully lagi oleh teman-temannya. Namun, harapannya runtuh begitu saja saat menginjakkan kakinya di lantai koridor sekolah.

Ia menutup telinganya rapat-rapat, berjalan dengan langkah cepat, menghindari semua omongan para siswa-siswi di koridor yang mencemoohnya. Nala merasa tidak kuat, dan ingin cepat-cepat sampai ke kelasnya.

Namun, saat sampai di kelas, bukannya mendapat ketenangan walau sebentar, ia malah mendapati Revan dan Bryan menghampirinya. Padahal ia baru saja duduk di kursinya.

Mereka berdua menyeringai, dan menatap Nala dengan tatapan meremehkan. Revan mendorong Nala ke belakang, hingga kursi yang memang sudah tidak layak pakai itu, patah. Nala terjatuh membentur tembok, merasakan nyeri pada punggungnya.

Bryan membuka tas milik Nala, mengeluarkan semua isinya. Buku-buku berhamburan, tergeletak begitu saja di lantai. Lalu Revan dan Bryan menginjak-injak bukunya. Mereka terlihat tertawa lepas, dan begitu puas dengan apa yang mereka lakukan.

Sedangkan Nala berusaha menahan tangisnya, ia tidak boleh menangis hanya karena ini. Namun, ia merasakan sesak di dadanya saat melihat mereka berdua merobek-robek bukunya, dan hasil robekannya dihamburkan ke sana-sini.

Padahal, sudah semalaman Nala mencatat materi. Namun, malah terbuang sia-sia. Ingin sekali ia memberontak, tapi terlalu takut untuk menghadapi mereka. Apalagi, seluruh siswa-siswi sekolah ini membencinya juga. Maka, ia tak akan mendapat pembelaan.

Semuanya berakhir saat guru datang, mereka berdua duduk di kursi, seakan tak memiliki rasa bersalah sedikit pun kepada Nala. Begitu juga dengan gurunya, ia hanya menanyai Nala, kenapa kursinya bisa patah, tapi tidak menanyai siapa pelakunya.

Dengan terpaksa, Nala menulis di lantai yang kotor dan dingin. Ia mencatat materi di buku kosong yang untungnya tidak dirobek oleh mereka.

Seakan waktu berjalan sangat cepat, matahari sudah menunjukkan sedikit jingganya. Jam pelajaran sebentar lagi akan segera berakhir, begitu juga dengan penderitaan Nala di sekolah.

Suara kursi bergerak, mengalihkan seluruh atensi seisi kelas. Mereka menatap Revan dengan heran, karena berdiri dari kursinya saat guru sedang menjelaskan. Disusul dengan Bryan yang ternyata ikut berdiri.

"Permisi, Pak. Kami izin ke kamar mandi sebentar," kata Revan dengan sikap yang sopan. Lantas saja, guru itu mengizinkannya.

Namun, setelah lamanya jam pelajaran berakhir, tapi Revan dan Bryan tidak terlihat kembali ke kelas, walau hanya untuk mengambil tasnya. Mereka seakan hilang tanpa jejak.

Begitu juga dengan beberapa teman-teman sekelasnya yang tadi mencari Revan dan Bryan. Mereka pun ikut menghilang. Nala kebingungan, merasa ada yang janggal dengan semuanya.

Namun, Nala memilih pulang ke rumah tanpa mengindahkan mereka. Ia berpikir, mungkin mereka pulang lebih dulu, dan membiarkan tasnya di sekolah. Atau sedang mengobrol sampai lupa waktu.

Berjalan dengan santai, merasakan angin yang sejuk, dan menerpa rambut. Rasanya, saat angin itu berembus, saat itu juga pikirannya sedikit tenang.

Namun, itu semua tidak berlangsung lama. Ibu-ibu seperti kepanasan jika barang semenit saja tidak meliriknya sinis dan membicarakannya. Nala merasa muak dengan semuanya.

Ia berjalan dengan cepat, tak mempedulikan omongan mereka yang busuk seperti sampah. Tapi rasanya walau sudah berjalan dengan cepat, ia masih bisa mendengar omongan mereka.

"Katanya, ibunya itu sudah memiliki pekerjaan."

"Mungkin saja dia menyogok dengan sisa-sisa uang haram yang mereka miliki."

"Lihat saja, sebentar lagi juga ia akan korupsi, sama seperti suaminya."

"Orang seperti itu, kenapa harus ada di desa kita, sih?!"

Masih banyak perkataan lain yang membuat hatinya sakit. Mereka membicarakan tanpa tahu kebenarannya, mereka tidak tahu apa yang dirasakan sebenarnya. Nala benar-benar muak, ingin membantah semua omong kosong mereka, tapi ia tidak akan bisa membuktikannya karena tidak akan ada yang membelanya.

Lagi-lagi ia harus menahan semua rasa sesak di dadanya, dan juga air matanya yang memaksa untuk turun. Ia harus pulang ke rumah dengan wajah yang bahagia, tidak boleh terlihat sedih. Ia tidak mau ibu dan adiknya khawatir.

Saat sampai di rumah, hanya ada ibunya yang sedang memasak di dapur. Adiknya belum pulang, padahal seharusnya bersamaan dengan dirinya pulang, adiknya juga pulang. Tapi, mengapa sekarang tidak? Ke mana adiknya?

Nala memilih membersihkan badannya, dan mengganti pakaian. Ia akan menunggu adiknya sampai hari gelap nanti. Jika belum pulang, maka ia akan mencari adiknya itu ke sekolahnya. Takut-takut jika ada apa-apa terhadap Nathan.

Waktu berlalu begitu cepat, hari mulai gelap, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Nala cemas, ia takut adiknya kenapa-kenapa. Maka dari itu, sekarang ia sedang bersiap untuk mencari adiknya.

Baru satu langkah keluar rumah, Nala melihat adiknya sudah berada tepat di depannya. Nathan lagi-lagi terluka, membuat Nala semakin merasa khawatir.

"Kenapa lagi?" tanyanya, lalu mendekati Nathan dan memapahnya masuk ke dalam rumah. Ia merasa benar-benar sedih saat adiknya ini lagi-lagi terluka ketika pulang sekolah. Ia tidak mau adiknya terkena bullying sama sepertinya.

***

Someone BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang