"Tidak usah memedulikan aku, Kak. Aku baik-baik saja, hanya sedikit luka gores," ujar Nathan tersenyum lemah.
"Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku mengabaikan mu saat kamu sedang terluka seperti ini!" balas Nala tidak suka dengan penuturan Nathan.
"Tapi ... Kakak juga terluka, 'kan? Terluka secara fisik juga mental."
Ucapan Nathan membuat Nala bungkam. Ia sudah tidak bisa membalas ucapan Nathan lagi, yang dikatakan Nathan benar adanya.
Nathan tersenyum, ia menepuk pundak Kakaknya itu. "Beristirahatlah, aku bisa mengobati lukaku sendiri. Besok Kakak juga harus sekolah kan?"
"Ta-tapi ...."
"Tidak apa-apa, Kak."
Nala hanya bisa pasrah, ia kemudian berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu, kemudian tertidur lelap.
***
Keesokan harinya.
Nala berjalan menyusuri lorong sekolah, perhatiannya jatuh pada kerumunan siswa di depan mading sekolah. Dengan langkah penasaran, Nala mulai mendekati mading. Hendak melihat apa yang membuat para siswa tertarik.
Ditemukan mayat beberapa siswa di gudang belakang sekolah
Nala tercengang melihat berita yang terpampang di mading sekolah. Ia terkejut, namun ia lebih terkejut saat melihat bahwa mayat yang ditemukan itu adalah Revan dan Bryan.Murid-murid berdesakkan untuk melihat mading, penasaran akan apa yang ditulis disana. Membuat tubuh Nala terdorong dan terhimpit di antara kerumunan.
Tiba-tiba saja, seseorang menarik krah kemejanya.
"Kamu, 'kan yang membunuh mereka?!" teriak perempuan yang tidak dikenalinya itu, raut wajahnya terlihat sedang menahan amarah juga menyiratkan sebuah ketakutan.
Teriakan perempuan itu membuat orang-orang di sekitarnya, mengalihkan pandangan ke arah mereka. Dalam sekejap, mereka sudah menjadi pusat perhatian.
"Ma-maksud kamu apa?" tanya Nala, bingung sekaligus takut.
"Tidak usah pura-pura! Semua lihat, kok. Mereka yang meninggal karena bully kamu, kan?! Kamu mau balas dendam ke mereka, dengan cara membunuh mereka!"
Ucapan perempuan itu membuat keadaan menjadi riuh. Banyak orang yang mencemooh Nala, bahkan mengumpatinya. Bisikan-bisikan kalimat kasar yang menyayat hati, terdengar jelas oleh Nala.
Dengan menahan air mata yang siap tumpah kapan saja, Nala memberanikan dirinya. "Bukan aku yang melakukannya! Mana mungkin aku tega melakukan hal seperti itu!"
Perempuan itu mempererat cengkraman di kerah Nala, membuat Nala kesulitan bernapas. "Kamu masih mau mengelak setelah banyak bukti ya—"
"Bukti? Mana? Tidak ada bukti di sini! Bisa saja jika ternyata kamu sedang bermain peran saat ini. Bagaimana jika ternyata kamulah yang membunuh Revan dan Bryan?" Ucapan Nala membuat perempuan itu tercengang, wajahnya berubah merah. Tidak hanya perempuan itu, semua murid juga tercengang. Kenapa Nala bisa seberani itu, pikir mereka.
"Ku-kurang ajar!" Perempuan itu melayangkan tangannya, hendak menampar Nala. Nala yang tidak siap, hanya bisa memejamkan matanya.
Namun, beberapa detik kemudian tidak ada rasa sakit di pipinya atau anggota tubuh yang lain. Apakah perempuan di depannya sudah memukulnya? Apakah perempuan itu tidak jadi menamparnya?
Perlahan ia membuka kelopak matanya, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Betapa terkejutnya Nala, tangan yang ingin menamparnya tidak mendarat di pipinya karena ditahan oleh seseorang.
Frendra!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone Behind
Teen FictionSomeone behind. Seseorang di belakang. Ada dalang di balik pembullyan. Ada dalang di balik kematian.