Chapter 01

28 3 0
                                    

.

.

"Gimana rencana lo setelah ujian ini? Jadi?"

Chris nanya dengan santai sambil jalan bareng gue ke gerbang depan kampus. Sama sekali gak peduli dengan tatapan anak-anak lain ke kita berdua. Padahal gue sendiri udah risih abis.

"Besok sih rencananya Hyunjin mau-"

"Alice!"

Suara itu... teriakan gak tau malu itu...sudah pasti...

"Hyunjin? Kenapa ada di sini?"

Tangan Chris yang sejak keluar kelas tadi ada di bahu gue, langsung gue tepis. Gue gak mau cowok tinggi di depan gue ini ngambek karena satu lagi hal sepele lain tentang Christopher.

"Bagus dong aku dateng. Kamu jadi gak harus berduaan sama cowok lain."

Gue menghela napas berat. Udah berkali-kali gue bilang kalau hubungan gue dan Chris tuh terbentuk sejak dari rahim nyokap kita berdua. Istilahnya, kembar beda emak-bapak. Gue mana bisa lepas dari temen gue sejak orok ini?

Tapi Hyunjin terlalu protektif.

"Gak bisa gini," ujarnya menarik tangan gue mendekat. "Liburan kita mulai hari ini aja. Biar aku yang minta ijin papa-mama kamu via telepon nanti."

"Tapi Hyunjin..."

Mulut gue boleh aja nolak. Tapi jantung gue udah berdebar dag-dig-dug gak karuan sekarang. Gue serasa lead female yang jadi rebutan dua tokoh utama pria di drama. Cowok yang gue suka, Hyunjin, dan temen yang diem-diem suka sama gue, Christopher.

But of course, itu cuma khayalan gue semata. Karena gak ada anak-anak kampus yang peduli dengan pertengkaran bagong ini. Dan Chris diem aja ngeliatin gue ditarik masuk ke mobil Hyunjin. Dia malah dadah-dadah dengan polosnya.

Sialan.

"Anak-anak lain gimana? Kita kan rencananya mau liburan bareng?" tanya gue tersadar. Vila yang kemarin kita booking untuk enam orang. Gue yakin gue gak salah inget.

"Mereka bisa nyusul besok." Hyunjin melepas rem tangan setelah menyalakan mesin mobil. "Aku mau satu hari lebih lama sama kamu, masa gak boleh?"

Gue mengangkat kedua bahu. Terserah Yang Mulia Hwang aja.

Setelah sekitar dua puluh menit keluar kawasan kampus, gue tiba-tiba keinget sesuatu. Memori otak gue memang suka kepecah gitu. Jadi sering banget keinget something berlanjut gini.

"Aku gak bawa apa-apa, Hyunjin."

Isi tas ransel kecil yang sekarang gue pangku cuma buku catatan kuliah sebiji, kotak pensil yang isinya gabung sama make up, botol minum yang airnya sisa setengah, sama hape tanpa charger. Gak ada peralatan yang seharusnya gue bawa untuk liburan tujuh hari tujuh malem kayak baju ganti atau semacamnya.

Masa iya gue gak ganti semingguan?

"Nanti mampir ke mall dulu. Aku bawa black card."

Yang Mulia Hwang Hyunjin mengatakan itu tanpa dosa.

Iya, gue tau dia anak pengusaha terkaya nomor tiga se-ibu pertiwi. Mobilnya aja –yang sekarang gue dudukin, import. Tapi gak seharusnya dia buang-buang duit lewat black card bokapnya kan? Itu duit bokapnya, bukan duit dia.

"Gak usah. Kita pulang aja sebentar. Tinggal ambil baju berapa biji, terus langsung berang-"

"Repot," potong Hyunjin cepat. "Saham aku lagi naik. Gak apa-apa."

Dia emang tau banget gue orangnya gak enakan kalau soal duit.

"Lagian udah jauh juga dari rumah kamu. Lewat gerbang ini udah luar kota."

Kepala Hyunjin mendongak, nunjukin gapura selamat datang di atas jalanan. Anjir cepet banget berkendara menggunakan mobil mewah ini.

"Oh?" ujar Hyunjin lagi. Kali ini nadanya agak kaget. Gue langsung ngikutin arah tatapan Hyunjin dengan ekspresi 'kenapa?'.

"Aku lupa isi bensin," lanjutnya dengan cengiran kuda yang bikin gue pengen getok kepala dia. "Nanti mampir pom dulu ya? Sekalian ke rest area buat makan sore."

Iya, makan sore. Gue dan Hyunjin adalah pasangan yang selalu makan minimal lima kali sehari. Pagi, brunch, lunch, tea time –yang biasanya bukan sekedar teh, dan dinner. Kadang juga sebelum tidur makan mie instan dulu.

Gue ngangguk pasrah aja. Yang bawa mobil dia. Yang punya rencana dia. Yang punya duit juga dia. Hamba yang hanya seorang upik abu ini bisa apa?

Sepuluh menit kemudian kita berdua sama-sama memekik girang. Padahal cuma liat plang rest area 500 meter lagi tapi udah kayak nemu berlian satu tambang.

"Nih buat jajan," ujar Hyunjin ngasih gue black card-nya. Antrian agak panjang, jadi mungkin inisiatif Hyunjin biar gue jajan dulu daripada bosen ngantri bensin. "Aku bayar bensin pake kartu lain aja."

Gue nolak dengan halus. Bukannya apa-apa. Ini rest area gue gak yakin stand-stand-nya terima kartu kredit. Syukur-syukur mereka masih terima e-money, deh.

"Tunggu aku di sana ya," ujar gue nujuk lokasi ATM. Tempat yang amat sangat strategis untuk ketemuan karena biasanya ada AC yang lumayan dingin.

Hyunjin mengangguk, gue juga ngangguk sebelum keluar dari mobil. Di depan mobil Hyunjin ada sekitar lima mobil lain yang antri. Self-serve ternyata. Tapi gak ada yang semewah mobil Hwang kayaknya. Gue bener-bener merasa sudah berada di luar kota. Daebak.

Gak sampe lima belas menit, tangan gue udah penuh sama camilan khas rest area. Corn dog, sosis bakar, kue kenari, mie instan. Pokoknya gue yakin kita berdua gak akan kelaparan sebelum sampai vila. Hyunjin juga ternyata udah nunggu gue dengan kerennya di depan ATM. Punggungnya bersandar di pintu mobil yang ketutup.

Terus tiba-tiba aja cowok itu ketawa liat gue.

Kenapa?

"Apa?" tanya gue tajam. Gue gak suka liat muka Hyunjin ngeledek gitu. Sumpah.

"Ini buat kamu juga." Gue lanjut beralasan dengan nada yang masih ketus. Felling gue dia ngetawain banyaknya makanan di tangan gue.

Hyunjin udah gak ketawa. Tapi mulutnya masih nyengir kuda.

"Sini deh, buru!"

Tangan kanannya melambai-lambai, nyuruh gue cepet jalannya. Gue yang masih mendengus-denguskan napas kesal, nurut aja. Daripada gue ditinggalin di kota antah-berantah ini sendirian.

Dia ngambil satu persatu makanan di tangan gue, terus ditaruhnya di atap mobil. Gue heran aja sambil ngeliatin kelakuan dia.

"Sini deket lagi."

Kali ini Hyunjin narik pinggang gue mendekat. Dengan jarak kurang dari satu meter ini dia mau ap-

Cup.

Gue melotot. Ngeliatin Hyunjin yang masih senyum-senyum sambil natap gue.

"Enak juga," komentarnya ambigu.

Apanya yang enak, coba?

"Mau lagi ya?"

Sekarang gue udah berada dalam kungkungan Hyunjin. Alias gue dipepet ke mobilnya. Tangan Hyunjin masih megang pinggang gue sedangkan tangan kirinya nahan berat tubuhnya sendiri. Gak perlu aba-aba, Hyunjin mulai mengecup bibir gue.

Satu kali. Dua kali. Tiga kali.

Kemudian makin lama makin dalam. Bukan lagi kecupan. Tapi lumatan yang lembut dan intens.

Gue ngerasa canggung. Sumpah.

Tapi gue suka.

Jadi gue biarin aja Hyunjin ngelakuin apa yang dia mau. Peduli setan sama orang-orang yang ngeliatin kita berdua sambil lewat.

"Udah ah," ujar Hyunjin melepas tautan kita berdua. Hyunjin ketawa kecil sambil menekan kunci mobilnya. "Yuk makan di mobil aja. Itu tadi hukuman karena kamu makan duluan."

Hukuman?Yang tadi itu bukannya hadiah?

**☻☻☻**

VACATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang