Part 1. Perkenalan

22 1 0
                                    

Usai menempuh pendidikannya di luar negeri hingga mendapatkan gelar menjadi seorang dokter. Muhammad Lutfan Anshari, tak hanya tampan ia juga dikenal bukan hanya cakap dalam profesinya sebagai seorang dokter. Namun, begitu cakap dalam urusan agama, hingga seringkali ia dijuluki sebagai lelaki sempurna. Lutfan sendiri yang seringkali mendengarnya hanya bisa terkekeh pelan, karena ia pikir dijuluki sebagai lelaki sempurna itu sangatlah mustahil baginya.

Kadang juga ia berpikir, dari segi apa ia dikatakan sempurna, apakah dari segi ketampanan yang menurutnya biasa saja. Berbicara soal ketampanan apakah ada pria di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya nabi Yusuf 'alaihissalam, yang di mana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, pada peristiwa isra mi'raj.

"Di sana saya bertemu Nabi Yusuf alaihis salatu was salam, ternyata beliau diberi setengah ketampanan." (HR. Muslim 429).

Maksud dari setengah ketampanan dalam hadits di atas kemudian dijelaskan oleh Ibnul Qayim. Ia berkata, "Kesimpulan yang bisa dipahami dari hadis itu adalah bahwasanya Nabi Yusuf 'alaihissalam secara khusus memiliki setengah ketampanan dari semua manusia. Sementara sisa setengah ketampanan itu terbagi pada semua manusia lainnya." (Badai al-Fawaid, 3/723)

bermaksud untuk melanjutkan pekerjaan sang Ayah, yaitu menjaga klinik keluarganya yang telah dibangun oleh sang Ayah dari nol. Padahal, kedua orang tuanya menyuruh dia untuk bekerja di rumah sakit. Namun, pria bernetra hitam itu menolak. Mengapa? Jawabannya adalah karena ia ingin menjaga klinik itu, tempat ia bermain semasa kecil saat menemani sang Ayah.

"Semua penumpang diharapkan untuk memakai sabuk pengaman, karena beberapa saat lagi pesawat akan segera landing."

Suara arahan dari seorang pramugari tampak menggema di dalam kabin pesawat. Para penumpang pun mengikuti intruksi itu, kemudian duduk dengan tenang di kursi masing-masing.

Lutfan tampak menatap keluar jendela pesawat, tatapan yang penuh kerinduan pada tanah kelahirannya.

"Masih sama seperti dulu," ucapnya lirih.

Beberapa saat kemudian, pesawat kini telah berada di landasan bandara internasional Soekarno-Hatta. Setelah mengambil beberapa barangnya dari loker bagian atas, pria bernetra hitam itu langsung beranjak keluar dari kabin. Menghirup udara, dengan perasaan yang begitu nyaman.

Senyuman yang menampakkan lesung pipi itu, belum luntur dari wajah tampannya.

Beberapa di antara para penumpang, tampak menatap ke arahnya dengan raut wajah kagum. Risih, ya, Lutfan merasa risih ditatap seperti itu. Ia pun hanya merespon dengan senyuman dan berlalu dari sana menuju parkiran.

Tangannya beralih menekan tombol dial di ponselnya.

"Assalamu'alaikum, Pak Ardi. Sudah di mana, Pak, saya sudah sampai di bandara," ucap Lutfan dengan seseorang setelah telepon tersambung.

"Wa'alaikumussalam. Bapak sudah di belakang, Nak Lutfan," balas orang yang di seberang.

Pria berjenggot tipis itu langsung berbalik, ternyata di sana sudah ada Pak Ardi, sopir keluarganya. Lutfan pun menghampiri pria paruh baya itu.

"Pak Ardi kenapa tidak panggil Lutfan tadi," ucapnya dengan sedikit terkekeh, pasalnya, mereka saling telepon dengan jarak yang sangat dekat.

Pria paruh baya itu pun sedikit ikut terkekeh. "Bapak nda liat toh, kalau Nak Lutfan di situ."

"Bagaimana kabar Ayah sama Bunda, Pak?" tanya Lutfan saat mereka berada di dalam mobil.

"Alhamdulillah. Tuan sama Nyonya baik-baik saja, Nak Lutfan," jawab pak Ardi kemudian kembali fokus ke jalanan.

The Last SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang