Part 4. Memahami Hati

9 0 0
                                    

Setelah mengendara beberapa menit, akhirnya Fatimah tiba di pekarangan kampus dan memarkirkan mobilnya dengan baik. Sebuah suasana yang membuatnya rindu setiap hari, yaitu ketika mendengar suara kebisingan dari para mahasiswa, perbincangan yang terdengar sana-sini. Entah apa yang membuatnya berkeinginan sehingga menjadi seorang dosen, apakah karena mengikuti profesi Abinya?

Fatimah melangkahkan kaki di koridor kampus, dengan cepat menuju ruangan para dosen dan sesegera mungkin menuju kelas. Karena dirinya sudah sangat lambat untuk mengajar.

Pertama kali baginya terlambat untuk masuk kelas, bahkan wanita itu hampir tersandung karena jalan yang terburu-buru.

Netranya menangkap para mahasiswa di kelas yang ia akan ajar, tampak hanya santai, seakan tidak sedang menunggu dosen untuk bersiap menerima mata kuliah.

"Assalamu'alaikum, adik-adik. Maafkan saya terlambat, ya," ucapnya ketika sudah memasuki kelas.

"Wa'alaikumussalam." Para mahasiswa di kelasnya hampir menjawab secara bersamaan salam itu.

"Ibu! Apakah bisa Anda tidak masuk saja?!"

Deg!

Sahutan seorang mahasiswi terdengar jelas di telinga Fatimah. Para mahasiswa tampak kompak menatap ke arahnya. Walaupun ia masih bisa dikatakan sangat muda menjadi seorang dosen. Fatimah tidak semerta-merta bersikap santai  ataupun takut terhadap para mahasiswa yang diajarnya.

"Apa kamu tidak senang dengan kelas saya, Rania?" katanya, sembari menyebut nama mahasiswi yang bersuara tadi. Sontak, seluruh kelas menjadi hening, tatapan kini berpindah pada mahasiswi yang bernama Rania itu. Mereka bahkan tidak menyangka, dosen muda itu akan berkata seperti itu.

"Kalau saya katakan tidak suka!" jawab mahasiswi berjilbab segi empat itu dengan mudahnya.

"Kamu bisa keluar dari kelas saya!" balas Fatimah dengan tersenyum tipis, "Adik-adik, saya ingatkan kembali, ya. Lebih baik saya mengajar satu orang, yang penting ia bersungguh-sungguh untuk belajar, bukan banyak yang hanya membuat kebisingan," lanjutnya. Semua orang tampak terdiam, tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun.

Rania---Mahasiswi itu masih terdiam di kursinya. Seakan tidak berniat untuk keluar kelas.

"Bagaimana Rania, kamu tidak ingin keluar? Saya membukakan pintu yang lebar untukmu." Rania tidak menjawab, ia hanya memandang ke sembarang arah.

"Baiklah adik-adik, kita mulai perkuliahan hari ini," ucap Fatimah yang langsung bersiap mengeluarkan beberapa alat yang akan digunakannya untuk mengajar.

Di sela-sela ia mengajar, seorang mahasiswa tampak masuk kelas, dengan mengucapkan salam lirih.

"Haris! Dari mana kamu?" tanya Fatimah yang membuat semuanya terkesiap dan langsung memandang ke arah nama yang disebut.

"Bukan urusan, Ibu! Terima kasih telah bertanya," jawab mahasiswa itu sembari terus melangkah masuk untuk duduk di kursinya. Rania mengangkat sudut bibirnya, seakan senang mendengar ucapan Haris.

"Apakah kalian tau adik-adik, tidak sopan kepada dosen, adalah satu hal yang tidak terpuji. Karena, seseorang itu bisa dinilai hanya dari sopan santun." Fatimah seakan sedang mengajak bicara para mahasiswa, padahal kata-kata itu secara tidak langsung tertuju pada mahasiswa itu---Haris.

Langkah Haris pun terhenti, ia menarik napas pelan dan membuangnya kasar. Seketika berbalik menghadap ke arah Fatimah.

"Apakah Ibu bisa diam!" ucapnya yang terkesan dingin.

Semuanya tampak membelalakkan mata. Namun, tidak ada yang berani untuk bersuara, bahkan Fatimah sendiri pun kaget mendengar hal itu. Walaupun setiap masuk kelas ini, hal itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi.

Wanita berjilbab besar itu tampak menarik napas pelan dan mengembuskannya perlahan. Ia sangat tahu siapa mahasiswa bernama Haris itu. Sudah sangat lama berada di kampus, membuat laki-laki itu seakan berkuasa. Usianya hanya terpaut dua tahun dengan Fatimah atau bisa dikatakan seumuran dengan sang adik---Raiyan. Namun, bedanya ia belum juga lulus sampai sekarang, entah apa yang melatarbelakangi hal itu. Apakah dari kemalasannya? Atau mungkin dari keinginannya sendiri?

Kadang pemikiran-pemikiran yang hendak mencari sebuah kebenaran bertanya. Mengapa pihak kampus tidak mengeluarkannya? Padahal laki-laki itu sudah sangat lama berada di kampus. Melewati batas waktu mahasiswa berada yang seharusnya.

Fatimah tampak meneguk saliva ketika Haris menatap ke arahnya.

"Ibu! Bukankah Ibu terlalu ikut campur urusan orang lain!" sahut Rania sembari berdiri dari duduknya, seakan keberaniannya untuk berbicara kembali lagi.

"Bisa kamu diam, Rania!" kata Haris begitu dingin, mahasiswi itu sontak membulatkan matanya dan kembali terduduk, nyalinya seakan menciut karena ternyata Haris tidak berada di pihaknya.

"Maafkan saya, Bu. Apakah Anda ingin saya keluar kelas saja?" tukas Haris yang masih berdiri, sembari menatap ke arah Fatimah. Wanita berjilbab besar itu tampak terkejut. Namun, ia tidak bisa membiarkan mahasiswanya satu itu untuk meninggalkan kelas.

"Tidak apa-apa, Haris. Silakan duduk saja di tempatmu, Ibu akan mulai kembali," ujar Fatimah dengan tersenyum menanggapi.

Haris---mahasiswa itu pun beranjak duduk di kursinya. Namun, selama proses pembelajaran, ia terus memberikan tatapan bingung pada dosen itu. Tidak seperti biasanya, yang selalu menyuruh untuk keluar jika tidak ingin mengikuti pembelajaran. Kali ini berbeda.

Fatimah yang sedang menjelaskan terkesiap, ketika mendapat tatapan dari Haris. Tatapan itu sangat berbeda dari semua mahasiswa. Alhasil, ia pun menegurnya.

"Haris! Apa kamu memperhatikan saya menjelaskan!" seru Fatimah.

"Tentu, Ibu," jawab Haris, padahal ia bukan mendengarkan penjelasan dosennya itu. Melainkan dengan tatapan penuh selidik atas kebingungannya.

"Baiklah, adik-adik buka halaman dua ratus dua puluh lima, kerjakan tugasnya, dikumpul dua hari dari sekarang. Kuliah kita cukupkan sampai di sini. Assalamu'alaikum," ucap wanita berjilbab itu, kemudian mengemas barangnya dan keluar dari kelas. Para mahasiswa menjawab lirih salam Fatimah, kemudian mengemas buku-buku mereka.

Di luar ruang kelas, Fatimah tampak mengatur pernapasannya. Ada apa dengan mahasiswanya itu? Akan lebih baik jika mendapat tatapan sinis, daripada tatapan yang sulit diartikan itu.

"Apa Anda baik-baik saja, Bu?" tanya seseorang dengan suara yang sedikit berat---yang tak lain adalah Haris.

"Hm---tentu, Ibu baik-baik saja," jawab Fatimah.

"Apa yang Ibu lakukan di sini?" tanya mahasiswanya itu.

Fatimah tampak terkekeh pelan, untuk bersikap seperti biasa. "Ibu tidak ngapa-ngapain, mau ke ruang dosen," jawab Fatimah dan beranjak dari sana. Namun, ia sedikit mengangkat alisnya sebelah ketika menyadari Haris tampak mengikutinya dari belakang.

"Kenapa kamu mengikuti, Ibu?" tanya wanita berjilbab besar itu, walaupun ia ragu untuk menanyakannya.

"Hm---siapa yang mengikuti Ibu," jawab Haris tampak memasang raut wajah bingung mendapat pertanyaan dari dosennya itu.

"Ini apa, kalau tidak mengikuti saya?"

Haris tampak mengangkat sebelah kening. Sepertinya sang dosen telah salah paham.

"Sepertinya, Anda telah salah paham, Bu. Saya mau pergi ke kantin, kantin arahnya ke sana, 'kan? Atau saya yang salah jalan?" kata Haris.

Fatimah tampak terdiam, sepertinya ia sudah salah paham. Wanita berjilbab besar itu tampak mengembuskan napas pelan, kemudian beristigfar lirih. Ada apa dengan dirinya?

"Kalau begitu saya duluan, Bu. Assalamu'alaikum," ujar laki-laki bertubuh tegap itu dan beranjak mendahului dosennya.

Fatimah menjawab salam itu lirih. Ia tak henti-hentinya beristigfar, sembari mengatur napas untuk menenangkan diri. Saat ini, ia bahkan tidak bisa memahami dirinya sendiri, yang telah sinkron dengan hati.

"Tenangkan diri, tenangkan hati. Karena memahami situasi dan kondisi perlu dengan sebuah ketenangan."

~Muhammad Lutfan Anshari~

.

.

Bersambung ....

The Last SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang