01. Awal Cerita Laksa

14 2 0
                                    

Coretan terakhir akhirnya melangkah lembut di kanvas berwarna putih. Gambaran bulan sabit, bintang-bintang, dan lautan lepas dengan kapal layar kecil di sana tampak nyata seperti apa yang dilihat oleh matanya malam itu. Semburat kebiruan karena pantulan cerah bulan seperti muncul dari ujung dunia siap menuntun kapal ke lautan lepas tanpa batas. Tak lupa dibubuhkannya sebuah coretan kecil sebagai tanda bahwa karya tangannya ini tak akan dimiliki oleh orang lain. 

Tiga jam, rekor terbarunya melukis di luar ruangan. Ia bersandar di batang pohon besar, menyingkirkan kanvas dari hadapannya dan menikmati pemandangan yang ia lukis dengan kedua matanya sendiri. 

Mata itu seperti kamera, apa yang tampak indah di kamera, maka indah pula jika dilihat dengan mata. Tak jarang, kepercayaan tentang lukisan yang begitu mempesona lebih dicintai daripada sebuah jepretan dari kamera bernilai jutaan. Kamera bisa rusak dan kehilangan pemandangan yang pernah ia lihat, tapi mata, meski mata tak lagi dapat melihat, pemandangan yang pernah ditatap akan tersimpan abadi sampai si empunya terlelap di dalam kubur.

Laksana Nirwana, seorang pemimpi yang menghabiskan tiap waktunya berada di depan kanvas. Seorang mahasiswa seni rupa yang tak pernah lelah untuk menjaga kedua matanya agar tetap bekerja. Mimpinya akan menjadi seorang pelukis dimiliki sejak ia sadar bakatnya dalam melukis begitu menakjubkan. Dari coretan-coretan sederhana tak berbentuk menjadi gambar detail yang memanjakan mata. Kemampuannya terus berkembang seiring berjalannya waktu, juga dibantu karena obsesinya menjadi seorang pelukis sekelas Leonardo da Vinci. 

Bibirnya mengulas senyum tipis, dihirupnya dalam-dalam udara sejuk malam hari yang melingkupinya penuh kehangatan. Matanya berbinar, mengagumi keindahan sampai kapal layar yang telah melekat di kanvasnya menghilang dari pandangan. Para nelayan tampaknya akan berlayar ke tempat mereka bertualang, seperti hari-hari sebelumnya, dan hari-hari berikutnya. 

Indah. 

Satu kata yang tertulis di benaknya. Entah kapan kata itu akan keluar dari bibirnya yang merah jambu merona. Ia tak pernah sekalipun mengutarakan kata indah dari mulutnya. Menyimpan kata itu tampaknya lebih menarik, atau mungkin ia sedang menunggu hal yang lebih dan benar-benar indah di matanya. 

Kini kepalanya mendongak, menatap langit biru gelap yang bertabur bintang-bintang putih mengkilap. Ia menghitung satu per satu, mencoba menghubungkan bintang, siapa tahu akan membentuk sebuah rasi. Ia tak ingat sudah berapa lama sejak kapal itu pergi, memandangi langit dan laut menjadi sebuah kebiasaan yang tak pernah dilewatkan olehnya. Beberapa lukisan tampak sama di mata orang lain, namun di mata Laksa, mereka berbeda. 

"Ada cerita di dalamnya," begitu kata Laksa. 

Cerita. Lukisan penuh makna yang tanpa disadari bercerita tentang apa yang Laksa lewati hari itu. Perasaan Laksa yang mungkin tidak pernah ia ceritakan, tentang luka, bahagia, kecewa, tawa, dan juga perasaan hampa. 

Laksa tahu, membuat hidupnya abadi di dalam lukisan tampak semakin melukainya tiap saat ia memandangi lukisan yang ia buat sendiri. Tapi, bagi Laksa, hanya lukisan-lukisan itu yang dapat menjadi ingatan untuknya.

Cahaya lebih terang kini mulai menggantikan cahaya kebiruan bulan. Tanda hari mulai fajar. Laksa masih bertahan di tempatnya. Lukisan yang telah kering berada di sampingnya, menemani Laksa di pergantian hari itu. Sudah pagi, Laksa tersenyum. Menatap cahaya terang yang perlahan naik dari laut lepas dan menggantung di angkasa ditemani kapas-kapas bergaris tipis. 

Laksa kehabisan cat. Ia tak membawa cat tambahan untuk melukis pemandangan di pagi hari. Tapi tak apa, Laksa menyimpannya di dalam ingatan. Matanya memotret, merekam, dan menyimpannya dengan aman. Maaf, untuk tidak melukismu hari ini.

Ketika mentari mulai naik dan cahaya makin terang, Laksa bangkit dari tempatnya. Mengemas semua cat dan kuas, melipat penyangga kanvas, dan membawa mereka semua pergi. Sudah saatnya, pemandangan itu dinikmati orang lain. Mungkin cahaya itu bosan melihat Laksa tiap kedatangannya. 

Antologi Senja | TENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang