04. Galeri Seni

8 2 0
                                    

Lukisan hujan yang tak tampak awannya itu kini tergantung di dalam galeri. Kisah menyedihkan yang dilukis di atas kanvas kini akan dilihat orang-orang bagai pertunjukan sirkus. Laksa, Candra, dan Nares duduk di antara lukisan-lukisan yang disusun dengan rapi. Tampaknya Candra dan Nares tak tahu harus ke mana selain mengekori Laksa bagai dua orang bodyguard.

Galeri sangat ramai. Ini kali pertama Laksa menemui banyak orang di dalam galeri seni. Wajah-wajah pecinta seni ternyata begitu khas. Laksa tersenyum tipis saat didapatinya seorang pria berambut pirang berputar mengelilingi sebuah patung torso seorang tokoh terkenal. Wajah penasaran yang tampak dari pria berambut pirang itu membuatnya antusias dengan acara malam ini.

Candra membantu Laksa menyiapkan kanvas kosong. Selain memajang lukisan-lukisan cantiknya, ia juga diminta untuk membuktikan bahwa ialah seorang yang melukis mereka. "Kau siap?" tanya Candra sembari membuka plastik yang menutupi kanvas. Laksa mengangguk cepat, pertanda ia sangat siap.

Nares melirik ke arah kakak dan sahabat kakaknya itu. Pemandangan romantis yang seharusnya tak pernah ia lihat. Jujur saja, Nares merasa iri saat Laksa bisa tersenyum pada Candra semanis itu. Meski mereka bersahabat, bukankah seharusnya Laksa menaruh perhatian lebih pada adiknya?

"Ada apa?" Laksa yang menyadari bahwa Nares menatap sinis menoleh. Matanya memandang Nares lekat-lekat, menunggu jawaban dari sang adik. "Aku cari makan deh, yuk, Kak Candra!" Nares beranjak, menarik tangan Candra menjauh dari bilik sang kakak. Alasan mencari makan adalah satu-satunya alasan yang efektif untuk pergi dari tempat ini. Lagipula Nares tahu kalau Laksa tidak suka diganggu saat melukis.

Laksa kini sendirian. Ia mengedarkan pandangan, menatap tiap sisi ruangan. Semakin padat pengunjung. Ia tidak menyangka banyak orang yang tertarik datang ke acara ini. Ia pikir, pecinta lukisan sangat langka. Laksa menarik kuas baru dari tasnya, ditiupnya debu dari kuas tersebut. Beberapa cat sudah ia siapkan di atas palet. Ia memandangi warna-warna di atasnya, ia tersenyum lagi. Entah sudah berapa kali ia tersenyum malam ini.

Coretan pertama, sebuah garis melintang berwarna merah. Masih tak tampak seperti apa lukisan barunya nanti. Tangannya menari-nari di atas kanvas. Begitu lincah. Warna demi warna ia padukan di atas kanvas, matanya pun tak lepas dari pandangan. Beberapa orang berhenti di depan biliknya, memandangi pajangan-pajangan karya tangan Laksa. Belum ada komentar, Laksa juga tidak melirik ke arah mereka. Matanya terlalu fokus melukis.

"Indah!"

Suara pertama dari seorang pengunjung. Kata-kata yang bahkan tak pernah ia ucapkan sendiri untuk lukisannya. Laksa berhenti mencoret, kuasnya berhenti, menimbulkan sedikit bercak. Kemudian, dengan cepat Laksa menoleh, mendapati seorang gadis dengan sebuah buku dan pensil di tangannya.

"Hai!" Gadis itu menyapa Laksa. Ia menyodorkan tangan ke depan Laksa dan tersenyum manis. Laksa terdiam. Lagi-lagi Laksa tidak mengerti perasaan apa yang baru saja muncul di dadanya. Laksa ragu-ragu mengangkat tangan. Namun, gadis itu segera menerkam tangan Laksa dan menjabatnya. Tentu saja Laksa terkejut.

"Senja." Gadis itu berucap.

Senja. Entah namanya memang Senja atau Laksa berpikir bahwa hari sedang Senja saat ini. Meski langit gelap, saat Senja menjabat tangannya, Laksa seperti dibawa ke dekat pantai tepat pada saat langit memanggil senja. Matahari berangsur turun dan Laksa melihat Senja sedang berjalan dari kejauhan menghampirinya. Begitu dramatis, khayalan Laksa benar-benar begitu jauh.

Senja berada di bilik Laksa begitu lama. Entah Laksa yang betah melihatnya, atau Laksa tidak tega mengusirnya. Laksa merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Senja seperti sesuatu yang menarik untuk didekati.

"Apakah ini hujan?" tanya Senja di tengah kesibukan Laksa menyelesaikan lukisannya. Laksa menatap lukisan yang Senja tunjuk, lalu mengangguk. Benar, itu hujan. Laksa bertanya-tanya mengapa lukisan itu tampak sangat menarik di mata orang lain. Padahal ia membenci lukisan itu. "Pasti kisahnya sangat sedih." Senja berucap lagi, kini ia menulis sesuatu di bukunya. Mendengar komentar Senja, Laksa memiringkan kepala. "Apa maksudnya sangat sedih?" tanya Laksa meminta penjelasan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antologi Senja | TENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang