Dering ponsel mengejutkan Laksa yang sedang asyik duduk santai sambil melukis di ruang tamu yang tak pernah disinggahi tamu itu. Laksa menurunkan lengan bajunya yang panjang menjadi lebih pendek. Si empu ponsel melompat ke atas sofa, meraih ponsel secepat kilat dan memandangi layar ponsel yang kini menyala tersebut. Diliriknya sang kakak yang ternyata tak terdistraksi dengan dering ponsel milik Nares. Nares tampak kecewa karena Laksa tidak berkomentar, tapi ia tetap membaca dengan khidmat.
"Siapkan lima lukisanmu yang cantik ya! Nanti malam kita ke pameran." Nares dengan gamblanngnya mengatakan rencananya malam ini tanpa meminta persetujuan dari Laksa. "Pameran?" tanya Laksa tak mengerti apa yang dimaksud dari ucapan Nares. Nares mengangguk antusias, "Aku mengirim lukisanmu untuk diseleksi ke galeri seni, lukisanmu diterima, jadi nanti malam kita bisa ke pameran!"
Sedetik, dua detik, Laksa masih diam, fokus ke perjalanan kuas lukisnya yang menari-nari di atas kanvas belum sempurna di hadapannya. Nares duduk mendekat, ditatapnya sang kakak sepenuh hati. "Iya, iya." Jawaban positif dari Laksa otomatis membuat Nares melompat bahagia. "Aku sudah bilang Kak Candra, sepertinya dia akan datang hari ini. Aku ke atas dulu!"
Biasanya, di sore hari seperti ini, Nares akan berada di balkon untuk belajar. Dari luar memang Nares tampak seperti adik yang bodoh dan mahasiswa yang sembarangan, tapi sama seperti idolanya, yaitu sang kakak, Nares sangat rajin belajar demi mencapai cita-citanya. Jika Laksa menghabiskan waktunya untuk melukis, maka Nares akan menghabiskan waktunya untuk membaca buku pelajaran di jam-jam tertentu. Sesekali, Nares juga bermain video game di ruang tamu.
Kanvas pertama sore itu sudah sempurna. Laksa menurunkan kanvas dari penyangga dan menjemurnya di teras. Sembari menunggu lukisannya kering dan Candra sampai ke rumah, Laksa membuka ponsel dan mencari sesuatu untuk dinikmati. Beberapa tutorial orang melukis misalnya. Laksa agak kesal saat ia tahu bahwa proses melukisnya memakan waktu sangat lama. Ia terlalu mementingkan detail dan terlalu banyak berpikir saat melukis, ia ingin memperbaikinya agar memakan waktu lebih sedikit saat melukis.
Pintu yang sudah terbuka itu diketuk. Candra dengan setelan nyentriknya melepas alas kaki dan berlari kecil dengan senyum merekah ke arah sahabatnya, Laksa. Laksa meletakkan ponsel, menyambut sahabat satu-satunya itu dengan antusias.
"Sudah siap menjadi Laksa da Vinci?" Candra meletakkan tas kecilnya ke atas meja. Laksa mengangguk cepat. Kemudian, keduanya berjalan menuju ke kamar Laksa guna memilih lima lukisan yang akan dipamerkan ke galeri seni.
Candra merupakan seorang sahabat yang mendukung penuh apa yang dilakukan Laksa. Ia membantu Laksa dalam banyak hal kecuali hubungan Laksa dengan orang lain. Beberapa orang mengatakan bahwa Laksa sangat beruntung memiliki Candra di sampingnya. Namun menurut Candra, justru ialah yang beruntung memiliki sahabat seperti Laksa. Beberapa kali mereka berdebat akan suatu hal, tapi pada akhirnya mereka kembali menjalin persahabatan yang baik.
Candra sangat membanggakan sahabatnya itu. Tiap kali orang menyinggung perasaannya dengan menyangkutpautkan kehidupan Laksa, ia selalu berada di depan untuk menjadi pelindung bagi Laksa. Begitu pun sebaliknya, Laksa menjadi pelindung bagi Candra. Hubungan persahabatan mereka terjalin cukup lama. Tepatnya sejak Laksa duduk di bangku sekolah menengah atas. Mereka dipertemukan dalam satu kelas yang sama.
Ketika Candra ditanya, apa yang membuatnya begitu bangga memiliki sahabat seperti Laksa. Dengan cepat Candra akan menjawab, "Laksa adalah sosok malaikat tanpa sayap yang diturunkan Tuhan untuk membantuku memahami apa itu kehidupan." Candra sama hiperbolisnya dengan Nares. Tapi itulah adanya. Laksa berperan besar dalam hidup mereka.
Namun, beberapa kali Candra dan Nares bertanya-tanya. Apakah peran mereka sama besarnya dalam kehidupan Laksa?
"Itu, awan yang hujan. Kau harus membawanya!" Candra menunjuk ke arah kanvas yang tergantung di dekat jendela. Laksa mendongak, itu lukisan terbarunya. Tepatnya semalam, saat hujan. Ia berat hati membawa lukisan itu. Ceritanya begitu menyedihkan. Butuh beberapa detik sampai akhirnya Laksa menurunkan lukisan itu. Ditatapnya lamat-lamat, lukisan itu tidak buruk, juga bukan sebuah kegagalan, tapi cerita di baliknya amat menyedihkan. Mata Laksa berkaca-kaca.
"Kalau keberatan, letakkan kembali. Kau tidak harus membawanya ke sana." Candra melemparkan diri ke kasur besar milik Laksa. Helaan napas keluar dari mulutnya. "Apa yang terjadi?" tanya Candra, berusaha memahami Laksa yang tak henti menatap lukisan di tangannya. Laksa menggeleng, "Menyakitkan ketika aku mengatakan pada adikku kalau ia tidak perlu bersedih, sedangkan aku tak pernah berhenti meratapi hal-hal di masa lampau."
Mendengar suara Laksa yang bergetar, Candra bangkit dari posisinya. Ia menatap Laksa, ia ingat kali terakhir Laksa bercerita tentang Laksa mendapati ayahnya tengah berada di dekat sini tapi tidak mengunjungi kedua anak lelakinya. Meski hal itu sederhana, Laksa merasa sangat sakit. Bertahun-tahun, Laksa yakin bahwa ayahnya akan pulang. Namun yang terjadi tidaklah demikian.
"Kau tahu? Aku selalu percaya kalau orang itu akan kembali. Setidaknya untuk Nares." Laksa menggenggam kanvasnya erat-erat. Candra masih diam, ia mendengarkan Laksa dengan saksama. "Kalau saja aku mencegahnya pergi, atau kalau saja ibu tidak pergi lebih dulu." Laksa meletakkan kanvas ke atas meja.
"Ini bukan salahmu, atau salah ibumu. Ini salah dirinya sendiri. Kau harus melupakannya dan hidup ke depan bersama Nares dan cita-citamu." Candra menghela napas. Seandainya semua itu mudah dilakukan Laksa. Mungkin Laksa akan berhenti melukis hal-hal menyedihkan dan berlibur sepanjang waktu bersama Nares. Tak ada salahnya mendengarkan Candra. Ini bukan salah Laksa, juga bukan salah ibunya.
Candra berjalan pelan, menghampiri Laksa dan mengusap punggungnya lembut. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi."
Satu per satu lukisan yang disukai Candra kini menumpuk di atas meja, bersama lukisan hujan itu. Obrolan mereka begitu singkat, namun itu melegakan. Setidaknya, Laksa bisa mengutarakan perasaannya kepada Candra. Satu perasaan yang kini melayang terbang ke angkasa membuatnya bernapas lebih leluasa.
Laksa dan Candra membawa lima lukisan yang telah terpilih untuk pameran ke ruang tamu. Di sana sudah ada Nares sedang melahap beberapa camilan yang terletak di atas meja. Candra dan Nares beradu tatap, keduanya tersenyum lebar. Mereka memang sudah sangat dekat layaknya saudara kandung.
"Nih, bawa ke mobil. Laksa siap-siap dulu." Candra menyodorkan tiga lukisan bawaannya kepada Nares. Nares menerimanya dan segera melaksanakan apa yang Candra minta. "Kalau begitu, aku akan ganti baju sekarang." Laksa kembali menuju ke lantai dua setelah memberikan dua lukisan bawaannya kepada Candra. Candra mengangguk, kemudian membawa dua lukisan tersisa untuk masuk ke dalam mobil.
"Wah, hujan ya ini?" tanya Nares setelah menata tiga lukisan kakaknya ke dalam bagasi. Candra mengangguk, "Ceritanya menyedihkan," bisiknya pada Nares. Nares hanya tertawa. Ia tak tahu cerita apa yang terdapat di setiap karya kakaknya. Yang ia tahu, semua lukisan milik Laksa memiliki keindahan dan perasaan yang tulus di dalamnya. Bahkan, Laksa melukis dengan hati tak sekadar dengan tangan, kuas, cat, dan kanvas.
Pukul tujuh malam, ketiganya berangkat ke galeri. Mereka sama antusiasnya. Ini adalah event pertama Laksa yang akan terlaksana di galeri seni. Biasanya, Laksa menjual lukisannya melalui seseorang. Kali ini, Laksa sendiri yang akan membawa lukisan-lukisan miliknya ke galeri, menjawab pertanyaan para pengunjung, melukis di tempat, juga menceritakan apa isi dalam lukisan yang ia bawa.
Tanpa sadar senyum tipis terukir di bibir Laksa. Perasaannya mengatakan bahwa malam ini akan menjadi malam yang baik. Ia merasa malam ini akan menjadi malam di mana semua keindahan akan hidup datang kepadanya.
"Aku tak pernah berhenti meratapi masa lampau."
- Laksana Nirwana, 20
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Senja | TEN
Teen FictionLaksa bermimpi menjadi seorang pelukis. Hidupnya diabdikan untuk berada di depan kanvas dan ragam warna cat di atasnya. Ia hanya mendengar cerita indah milik sahabat dan adiknya, karena ia berpikir tak ada cerita indah yang ia miliki. Namun, kemudi...