Chapter 1: Pertemuan Itu (1)

23 3 5
                                    

Kalau saja Tuhan tidak menciptakan pertemuan, maka si perpisahan juga tidak akan diciptakan. Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan keduanya melainkan entah itu dirimu yang merubah hidupnya atau malah dia yang merubah hidupmu~

🌼🌼🌼

Haikal termangu menatap luar jendela kamarnya lamat-lamat. Mata teduhnya menyiratkan kerinduan pada sosok laki-laki yang gemar mengantarnya menuju mimpi dengan kisah-kisah superhero kesukaannya "Rasulullah SAW". Yang setiap malam tak pernah lupa berkisah tentang kidung cinta Rasulullah kepada umatnya. Yang setiap shubuh membangunkannya dengan sejuk tetesan air wudhu dari wajahnya.

Yang setiap hari hampir tak pernah absen menuturkan nasihat-nasihat bijak dan motivasi membangun sekalipun hanya melalui telepon. Haikal merindukan sayup-sayup syahdu lantunan tilawah Al-Quran yang sering ia dengar ketika ia tak sengaja terbangun di sepertiga malam, meskipun akhirnya ia tertidur lagi. Haikal merindukan itu semua. Ya, laki-laki itu tak lain dan tak bukan adalah bapaknya.

Haikal waktu itu masih kecil, tapi ia sangat mencintai bapaknya. Setiap melihat bapak, Haikal kecil selalu berikrar dalam hati,

"Kalau sudah besar nanti, Haikal ingin jadi orang seperti bapak".

Begitu tekad bocah ingusan yang masih berusia tujuh tahun.

Haikal ingat saat bapak mengajaknya untuk sholat maghrib berjamaah di mushola. Mereka berdua berangkat sebelum adzan dikumandangkan. Di sela-sela i'tikaf, bapak berkata lembut padanya,

"Adek mau nggak adzan habis ini?". Haikal hanya menggeleng masygul.

"Loh kenapa?".

"Haikal belum bisa adzan pak, tapi Haikal juga malu" ujar Haikal dengan tatapan polosnya.

"Loh kenapa mesti malu? kan bagus tuh kalau Haikal bisa adzan kayak adzannya sahabat Bilal.." tutur bapak dengan lembut tapi Haikal kecil tetap bersikukuh pada pendiriannya.

"Yasudah nggak apa-apa, Haikal dengar bapak dulu ya.. kapan-kapan kita belajar" ujar bapak dengan tersenyum.

Setelah masuk waktu adzan, bapak bergegas berdiri dan mengumandangkan adzan dengan lantang bak suara sahabat Bilal yang pernah bapak ceritakan pada malam Haikal yang lalu. Mata Haikal membulat takjub, walaupun Haikal masih kecil tapi ia tahu suara bapak itu indah sehingga lagi-lagi ia bergumam dalam hati,

"Haikal ingin jadi seperti bapak!"

🌼🌼🌼

Sepulangnya dari jamaah bapak bertanya lagi pada Haikal,

"Adek masih malu tidak buat adzan? kan tadi udah bapak kasih contoh".

"Mm.. tapi suara Haikal jelek, suara bapak bagus" ujar Haikal sambil menatap polos pada bapak.

Bapak tersenyum lalu mengusap kepala Haikal dengan penuh rasa sayang.

"Belum sayang, makanya kita belajar dulu. Kalau adek semangat InsyaAllah nanti suaranya jadi bagus". Haikal menunduk karena masih kurang yakin dengan kemampuannya.

"Yaudah gini aja, kalau adek semangat belajar terus berani mencoba nanti bapak kasih hadiah deh.. gimana??".

Haikal spontan menatap bapak dengan mata berbinar sembari mengangguk mantap, "SETUJU!".

🌼🌼🌼

Bapak tidak berbohong, setelah Haikal rajin belajar mengumandangkan adzan dan berhasil mempraktikkan nya saat waktu maghrib sebulan setelah belajar, seminggu kemudian bapak membelikannya sepeda roda dua sebagai hadiahnya.

I'm In A Third Of Your NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang