Chapter 2: Pertemuan Itu (2)

24 3 2
                                    

Haikal Irham Adzani, aktivis rohis senior di asrama dan Madrasah Aliyah Darul Falaah, Jakarta. Yang sekarang sedang duduk di bangku kelas duabelas ini memiliki cukup banyak penggemar di sekolahnya terutama dari kaum Hawa. Laki-laki bermata teduh dan memiliki lesung pipi ketika sedang tersenyum ini, meskipun tergolong sebagai kakak senior yang ramah namun ia lebih cenderung pemalu kepada lawan jenisnya. Selain wajahnya yang menyenangkan untuk dipandang dan kepribadiannya yang pantas dinobatkan sebagai "suami-able", ia juga memiliki suara adzan yang menyentuh hati bagi siapa saja yang mendengarnya, entah itu bagi yang sudah terbiasa mendengarnya maupun bagi orang yang hanya sekilas lewat dan tak sengaja mendengarnya.

Maka dari itu tak sedikit gadis-gadis dari adik kelas maupun seangkatan berusaha mengutarakan perasaan kepadanya, entah itu secara langsung, melalui surat, ataupun hanya sekedar menitip salam lewat teman-teman nya. Tapi Haikal bukan tipikal lelaki yang mudah memberikan hatinya apalagi kepada gadis yang mengungkapkan perasaannya duluan. Ia amat menghormati derajat perempuan, bapak mengajarinya untuk memuliakan Ibunya diatas ayahnya karena ibu adalah jawaban atas pertanyaan tentang dimana surganya. Haikal berusaha menolak pernyataan cinta para akhwat dengan cara yang paling santun meskipun sesantun apapun tolakan adalah yang menyakitkan. Minimal Ia menjawab salam dari para akhwat dengan berkata,

"Waalaikumussalam... Alangkah baiknya kita menjadi saudara sehingga tidak ada patah hati di kemudian hari" ucapnya sambil tersenyum tipis meskipun masih dalam keadaan menunduk.

Satu kalimat santun, tapi mampu mematahkan pondasi hati yang kokoh menjadi puing-puing yang rapuh. Kebanyakan akhwat lebih memilih untuk pasrah mengalah dengan jawaban Haikal sambil tersenyum getir daripada mereka harus menanggung malu lebih jauh karena respon pasif dari Haikal.

🌼🌼🌼

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Haikal.

"Assalamualaikum Kal.. Ikal...." suara cempreng Azlan dan logat Jawa nya yang medhok merupakan ciri khas dari sahabatnya dari kamar sebelah yang mudah untuk dikenali. Selain itu hanya Azlan yang memanggilnya dengan sebutan Ikal bukan Haikal. Suara Azlan makin lama makin keras, nampaknya ia sebal karena sedari tadi tidak ada jawaban dari Haikal.

Haikal tertawa kecil,
"Ah ya ya Lan, waalaikumussalam... buka aja nggak dikunci kok".

Azlan masuk dengan cengar-cengir seperti biasanya. Sahabatnya satu ini memang memiliki kepribadian ceria dan humoris tapi asli terkadang guyonannya garing, tapi bagaimanapun guyonan garing Azlan adalah penghilang galau Haikal ketika tiba-tiba mood Haikal sedang tidak bagus.

"Kal, yuk ikut jadi panitia persiapan penerimaan siswa baru" ajak Azlan sambil menyodorkan undangan untuk Haikal.

"Nggak suudzon sih. Eh tapi iya dikit, ini kamu mau ikutan soalnya sukarelawan apa karena bakal ada siswi-siswi baru..??" goda Haikal pada Azlan sambil memicingkan matanya.

"Astaghfirullah Kal.. suudzon aja terus.. tapi kok suudzonnya bener ya?" jawab Azlan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Seketika itu Haikal tertawa kecil,
"Tuh kan... Lan.. Lan.. kamu ikut aja deh, aku nggak mau ikutan kalau gitu" ujarnya dengan berpura-pura marah.

"Yee Kal, kan yang gitu cuma aku doang.. kalo kamu ya yang sukarelawan".

"Nggak ah, kamu niatnya udah kayak gitu mending sekalian nggak usah".

I'm In A Third Of Your NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang