2: Renata Angsajaya

557 93 10
                                    

Episode 2
.

Hari itu untuk pertama kalinya aku melihat langit dari daratan Papua. Oho, sungguh indah. Berbeda dengan langit Jakarta yang dihiasi gedung bertingkat, di tanah timur Indonesia itu aku disambut dengan suasana langit biru yang berpadu dengan hijaunya perbukitan.

Sekitar satu jam perjalanan, mobil yang aku tumpangi bersama Mahale sampai di sebuah desa. Anak-anak langsung menyerbu Mahale saat pria itu menapakkan kakinya di tanah Yobeh.

"Apa kalian lihat Ka Renata?"

"Tadi Sa lihat Ka Renata pergi naik perahu ke tengah danau."

"Ah, baiklah. Terima kasih e."

"Kaka, bolehkah Sa pinjam topi Kaka? Sa ingin jadi pilot."

Mahale tertawa, "boleh-boleh," ucapnya dengan memasangkan topinya kepada anak laki-laki itu.

"Siapa yang mo naik pesawat sama Sa?!"

Aku menatap anak-anak itu berlarian bersama dengan merentangkan kedua tangan mereka.

"Itu tadi Maipe. Cucu kepala kampung di sini."

"Anak-anak sangat suka denganmu."

Mahale tertawa, "mereka punya mimpi menjadi pilot. Mendengar semua itu aku sangat senang."

Aku menatap wajah pria itu, matanya memandang lurus pada anak-anak yang asik bermain. Senyumnya begitu tulus seolah ada rasa bahagia hanya dengan melihat anak-anak itu.

"Apa kamu juga tinggal di sini?" tanyaku.

Mahale melihat ke arahku, "tidak. Aku menetap di Jakarta."

"Tapi---anak-anak itu terlihat dekat denganmu."

"Ya memang begitu, aku selalu menyempatkan waktu untuk mampir kemari dan menjenguk Renata. Bagaimanapun wanita itu bukan penduduk asli di sini, keluarganya juga berada di Bandung. Jadi aku berkunjung untuk memastikan dia baik-baik saja."

"Sepertinya Renata juga sahabatmu ya?"

Mahale tertawa lepas, "Renata memang sahabatku. Tapi aku sangat menghormatinya karena dia wanita yang hebat. Saat kamu bertemu dengannya, kamu akan menyukai wanita itu."

Aku tersenyum, "kalau begitu aku tidak sabar bertemu Renata."

"Mari, kita akan menemui Kepala Kampung."

Aku menganggukkan kepala dan mengikuti langkah Mahale. Kami berjalan menyusuri jalanan Yobeh. Biru langit bertemu dengan birunya danau Sentani.

Kami sampai di sebuah rumah sederhana. Letaknya sangat dekat dengan tepi danau. Seorang pria cukup lanjut usia duduk di teras.

"Bapa! Apa kabar?!" sapa Mahale, pria tua itu tersenyum kemudian berdiri menyambut kami.

"Eee... Mahale, kabar Sa baik. Mari-mari," ucapnya dengan menepuk pundak Mahale.

"Siapa nona manis yang Ko bawa ini?" tanyanya dengan menatapku.

"Bapa, ini Luna. Sa bawa nona ini dari Jakarta."

"Halo Bapa. Nama saya Luna."

"Wah, pasti lelah. Mari masuk," ucapnya dengan membuka pintu rumahnya jadi lebih lebar.

Kami duduk di kursi kayu. Angin danau bebas masuk ke dalam rumah. Aku bahkan tidak pernah menghirup udara sesegar itu saat di Jakarta.

"Hei Mina cepat Ko bawakan air, Mahale datang sama nona," teriak Bapa Kepala Kampung.

"Ya, Bapa."

"Eh, jangan repot Bapa. Sa datang kemari ingin berbincang saja," ucap Mahale.

"Berbincang bisa serat tanpa air to," jawab Bapa Kepala Kampung dengan tertawa.

Ada Cinta Di PapuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang