4: Dialog Tengah Malam

541 67 14
                                    

Episode 4
.

Angin berhembus pelan, malam gelap di tanah Papua menjadi kian terasa pekat karena lampu yang padam. Aku duduk di anak tangga pondok. Renata sibuk menyalakan api unggun di halaman pondok dekat kami duduk.

"Biasanya gak begini. Pasti ada masalah sampai PLN matiin listrik," ucapnya dengan bertolak pinggang, matanya yang tajam menembus pekatnya malam mencari setitik cahaya dari arah kota.

Beberapa penduduk di sana juga melakukan hal yang sama, mereka berkumpul dengan tetangga dan menyalakan api sehingga malam di pondok mereka tidak terlalu pekat.

Renata mengambil tempat duduk di sisiku, tangannya mengulurkan lotion anti nyamuk kepadaku, "pakai ini, sebentar lagi nyamuk akan datang," katanya.

Aku menerima lotion itu dan memakainya.

"Kak Renata---" panggilku setengah ragu pada wanita yang sibuk meletakkan kayu pada api.

"Ada apa?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku.

Aku hanya diam dan berusaha mengubur dalam-dalam keraguan dalam hatiku, tentu saja... Renata--- terlihat begitu tegas dan entah mengapa aku menangkap aura negatif setiap kali membuka pembicaraan tentang Audrey.

"Kenapa kamu diam?" tanyanya lagi. Kali ini Renata berdiri dengan bertolak pinggang.

"Apa---kita bisa mulai berbicara tentang Audrey?"

Aku melihat perubahan raut wajahnya, iya merapatkan kedua bibirnyA sebelum akhirnya duduk di sisiku, "apa yang mau kamu tahu?"

"Ya... Semuanya..."

"Aku gak tau segalanya, Luna."

Aku menatap mata Renata yang begitu tajam, tapi ada sesuatu yang aneh pada tatapannya. Begitu kelam...

Aku menganggukkan kepala dan menyatukan kedua tanganku berharap bisa mendapatkan sedikit kehangatan di tanah Papua ini.

Tapi tidak, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya dan kedua tanganku begitu dingin karena tatapan Renata.

"Apa---maksudku---kalau begitu aku mau tau semua yang kakak tau?"

"Aku cuma tau satu hal, Audrey adalah burung kecil yang ingin terbang bebas. Hanya itu..."

"Apa maksudnya?"

Renata tak menjawab, matanya tak bergeming dari nyala api.

"Dia terkurung pada ambisi ayahnya yang ingin menjadikannya dokter bedah jantung. Pada akhirnya ia berakhir menjadi pasienku."

"Apa?"

"Ayah kalian adalah kepala dokter bedah saraf di pusat trauma saraf, kan?"

"Benar."

"Aku bertemu dengan kakak kamu saat kami kelas 1 SMP. Kami tinggal di kamar asrama yang sama. Mungkin karena itu kamu gak punya banyak kenangan tentang Audrey."

"Kalian berteman selama itu?"

Renata tersenyum, namun matanya masih menatap ke dalam api yang menari-nari memakan kayu.

"Jika aku ingat ke masa lalu, sebenarnya aku lebih ingin membunuh ayah kalian."

"Apa? Tapi kenapa?"

"Pria brengsek itu membuat Audrey menjadi pasien pertamaku sesaat setelah aku menyelesaikan pendidikan sebagai seorang psikiater."

"Apa maksudnya? Pasien pertama? Kau seorang psikiater? Kenapa kakakku menjadi pasien?"

"Pria yang kalian panggil ayah itu. Telah membunuh Audrey-ku secara perlahan. Mematikan keinginannya untuk hidup dan pada akhirnya mendorong Audrey ke dalam jurang gelap."

Ada Cinta Di PapuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang