PROLOG

1.7K 128 0
                                    

Aku Lian Septiani tidak tahu harus bersyukur atau malah mengeluh karena harus jadi babu anak majikan ibu. Umurnya jauh lebih muda 4 tahun dariku. Dan sekarang sudah kelas 12 SMA. Anaknya ganteng, tinggi, tapi songong. Kalau ada masalah di sekolah maunya aku yang datang bukan ibu atau bahkan ayahnya.

Tepat seperti sekarang ini aku sedang di ruang BK dengan Haru yang malah cengar-cengir di sampingku. Kesalahan dia memecahkan kaca jendela ruang guru. Dan sialnya para guru saat itu sedang rapat. Itu yang ku dengar.

"Saya sangat meminta maaf atas kesalahan Haru, Bu. Dia memang suka main bola sembarangan di rumah juga. Saya janji akan ganti kerusakannya," ucapku dengan senyum yang dipaksakan. Dalam hati aku sudah ingin  memarahi anak itu habis-habisan, tapi sepertinya tidak bisa. Aku masih tau batasan.

Guru BK yang duduk di depanku dan Haru mengangguk pasrah kemudian tersenyum tipis. "Baik kalau begitu. Tapi Haru akan saya hukum selama seminggu untuk membantu Pak Dadang membersihkan halaman sehabis pulang sekolah."

Aku mengangguk lalu melirik Haru yang melotot kaget. Sepertinya dia tidak terima dihukum begitu. Tapi ya namanya juga hukuman, harus dijalani. Apalagi dia salah.

"Kalau begitu saya permisi ya Bu." Aku pamit keluar setelah salaman dengan guru BK itu.

Aku menyeret Haru begitu sudah sampai luar. Ingin berbicara dengannya agak jauhan, agar orang di dalam tidak mendengar omelanku padanya.

"Kamu kayaknya suka banget ya buat ulah. Tau gak, aku itu lagi kerja. Untung aja lagi gak ada bos. Kalau misalnya ada, dan aku gak boleh ke sini, gimana? Kamu gak kasian sama ayah dan ibu kamu?"

Haru tertunduk. Aku tidak tahu ekspresinya bagaimana karena aku di depannya.

Dia mendongak lagi lalu matanya menatapku. "Aku gak sengaja Kak, lagi pula aku gak berniat bikin ayah sama ibu kecewa kok. Akuㅡ"

Tangan kananku terangkat untuk memotong ucapannya. "Oke, udah ya, aku mau balik kerja. Lain kali kalau kamu buat ulah lagi aku gak mau datang. Aku bakal kasih tau ayah kamu aja biar ngambil alih."

Raut muka Haru langsung berubah. Ayahnya memang tegas tapi aslinya baik. Hanya saja untuk urusan kedisiplinan paling diutamakan. "Jangan dong Kak. Kakak emang tega sama aku kalau aku dimarahin ayah?"

"Biarin aja. Biar kapok."

Bahu Haru turun dan ekspresinya jadi terlihat sendu. "Kak, aku tuh cuma mau kayak dulu. Ditemenin Kak Lian terus. Aku kesepian semenjak Kakak kerja."

Aku menghela napas. Tidak tega juga lihat dia seperti ini. Tapi kalau aku terus menerus turutin apa maunya, dia bakal terus bergantung kepadaku. Kapan mau mandiri dan dewasanya kalau begitu.

Aku menepuk-nepuk pundaknya. "Jangan sedih. Lagian aku juga kerja dari pagi sampe sore doang. Malemnya free jadi bisa temenin kamu."

Haru tersenyum sangat lebar begitu mendengar ucapanku. Tidak tahu lah, dia suka sekali mood-moodan seperti perempuan.

"Ya udah. Aku mau balik ke tempat kerja." Aku balik badan. Hendak jalan, namun Haru mencekal pergelangan tanganku. Mau tidak mau aku menoleh. "Apa lagi?"

"Pulangnya bawain martabak keju ya."

"Iya."

"Pake uang Kak Lian tapi."

Boleh tidak sih hujat laki-laki tampan seperti Haru sekarang? Aku itu sedang tidak membawa uang banyak. Hanya cukup untuk ongkos ojek dan makan siangku doang. Mau nangis saja rasanya.

"Iya oke," kataku pada akhirnya, kemudian pergi setelah melepaskan diri dari tangan laki-laki jangkung itu.

Ya, inilah hidupku. Tidak ada yang spesial. Hanya jadi pesuruh dan pengasuh Haru yang tidak  mandiri-mandiri dan tidak ada akhlak. Tapi aku sayang.

Baby, Haru [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang