CHAPTER EMPAT

416 72 4
                                    

Efek sinar matahari di pagi hari banyak yang bilang baik untuk kesehatan. Tapi, rasanya sangat berkebalikan denganku saat ini. Kedua pipiku yang terasa panas, malah bertambah panas akibat melihat Lyn turun dari mobilnya dengan setelan pakaian yang bisa dibilang tidak biasa, sungguh tidak baik untuk perempuan sepertiku yang gampang sekali mleyot.

Seolah sudah menjadi belahan jiwa, topi di kepalanya tidak tertinggal. Hanya saja kali ini warnanya berbeda. Bahkan cara memakainya pun beda.

Jika kemarin memakainya dengan benar, maka hari ini, topi itu dipakai terbalik. Menambah kesan tengil walaupun tidak cocok dengan wajahnya yang kalem.

"Hai, udah siap memulai hari?"

Senyumku tertahan begitu mendengar suaranya. Pertanyaan yang sama seperti pagi hari beberapa tahun lalu ketika aku baru saja sampai di depan pintu kelas, dan Lyn bersandar di sampingnya.

"Tentu," jawabku dengan anggukan semangat. Lyn ikut tersenyum, kemudian membukakan pintu mobil untukku. Uh sangat tidak baik untuk jantung.

Mataku mengitari isi mobilnya. Sangat rapi. Walau di bagian belakang ada jaket yang menggantung, tapi tidak apa-apa, itu tidak termasuk ke dalam sampah.

Pandanganku terhenti pada foto yang terselip di antara karet hitam yang entah sengaja atau tidak tertempel di kaca spion bagian atas.

"Kamu masih simpan foto ini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu masih simpan foto ini?"

Lyn menoleh sebentar kemudian mengangguk. "Iya. Fotonya bagus. Kebetulan saya juga lagi gak jelek walaupun abis olahraga." Tawanya mengudara.

Aku memperhatikan setiap ekspresi yang diperlihatkan laki-laki yang sedang menyetir di sampingku ini. Rasanya masih tidak percaya bertemu kembali dengan Lyn versi dewasa. Terlihat jelas Lyn di foto dengan yang nyata bersamaku ini sangat berbeda, meski sifatnya masih sama.

"Kameranya masih ada?" tanyanya. Aku mengalihkan pandangan ke jalanan. Foto itu dijepret olehku saat itu. Hanya iseng, tapi yang namanya orang tampan, pasti dalam keadaan apapun akan selalu tampan. Bahkan jika botak sekalipun.

"Ada sih kayanya. Aku lupa juga simpan di mana."

Lyn melirik, "kebiasaan lupa kamu masih ada nih?"

Mulutku terkunci rapat. Pandanganku juga sudah sepenuhnya teralih pada jendela samping yang mendadak lebih menarik daripada laki-laki tampan itu. Malu sekali. Penyakit pikunku masih diingat olehnya hingga saat ini.

Suara tawanya terdengar lagi. Kali ini lebih lepas dan lebih lama. Entah apa yang lucu, Lyn terlihat bahagia sekali. Tidak dapat dicegah aku ikut tertawa juga walau malu setengah mati.

Mobil Ayla merah tiba-tiba menyalip mobil Lyn. Membuatnya harus membanting stir mendadak dan menyebabkan kami diklaksoni oleh pengendara di belakang.

Tawa kami berdua bahkan langsung lenyap, Lyn sedikit mengumpati si pengendara itu. Berbeda dengannya, aku justru marah karena tahu siapa pelaku dibalik ini semua. Pasti Haru yang menyuruh Ken untuk mengerjai kami. Tidak salah lagi, plat nomotnya bahkan sudah sangat aku hafal di luar kepala.

***

Sebagian orang yang berkunjung ke ruangan yang lumayan besar dengan masing-masing di ujung temboknya terdapat rak buku dan majalahㅡsibuk dengan urusannya sendiri. Ada juga yang hanya ingin menghilangkan stress dengan duduk diam menikmati kopinya. Bahkan ada juga yang berniat mencuci mata, dalam artian mencari beberapa orang yang terlihat menarik. Lyn salah satu objek itu.

Sejak satu jam yang lalu, Lyn masih anteng di tempatnya dengan laptop di meja. Sampai sekitar 20 menit kemudian, datang tiga orang perempuan yang sepertinya seumuran dengan Ken. Mereka beberapa kali tertangkap oleh mataku sedang memotret Lyn.

Hari yang sangat tidak menyenangkan untuknya. Pagi-pagi sudah dikerubungi oleh pengganggu yang tidak tahu tempat dan waktu. Lyn yang malang.

"Li, itu temanmu?"

Aku menoleh. Rania tahu-tahu sudah berada di sampingku dan ikut melihat apa yang sedang aku lihat. Kepalaku mengangguk kemudian, "iya. Teman lama."

Raut terkejut terpatri kala aku menjawabnya. "Wah! Kamu beruntung banget. Selain degem, kamu juga punya cadangan cogan lain."

Tanganku langsung menggeplak bahunya. "Jangan sembarangan. Bukannya beruntung, malah pusing aku tahu!"

Rania menyenggol lenganku dengan alis yang dinaik turunkan. Lihatlah, ekspresinya sangat menyebalkan. Aku jadi ingin meraup wajahnya kalau tidak ingat Cafè menjelang siang ini lumayan ramai.

"Bagi tipsnya dong," katanya. Aku melengos, menjauh darinya. Jika lama-lama dengan Rania, bisa-bisa aku depresi akibat sikapnya yang tidak ada bedanya dengan Haru yang sangat menyulut emosi. "Aih, dasar Lian."

Aku mendekati meja Lyn setelah membuat kopi hitam untuknya. Laki-laki itu terlihat kehilangan fokusnya akibat matanya berair. Pasti sangat tidak nyaman menatap layar laptop selama itu. Mana dia juga hanya memesan kue kering dan air putih saja, bisa dipastikan itu tidak mengenyangkan.

"Sibuk banget ya, Pak?" sapaku basa-basi. Lyn mendongak. Dimplenya terlihat ketika dia tersenyum.

"Ya lumayan." Tangannya mengambil tas laptop yang tersimpan di kursi sebelahnya dan menyimpannya di bawah. "Sini duduk, mumpung lagi gak ada yang datang."

"Lain kali aja ya. Aku gak mau ganggu kamu." Aku menaruh gelas berisi kopi di dekat gelasnya yang sudah kosong. "Sebagai gantinya, aku bikinin kopi buat kamu. Aku traktir. Sekalian untuk ucapan terimakasih juga karena udah ngajak berangkat bareng tadi."

Senyumnya semakin lebar menambah dalam bulatan kecil di pipinya. "Terimakasih kembali. Saya terima ya." Lyn menghirup aroma kopi itu sebelum kemudian menyeruputnya. "Kamu selalu tau selera saya."

Seperti sudah menjadi kebiasaan. Lyn akan sangat fokus jika sudah meminum kopi. Dulu juga begitu pada saat mengerjakan tugas sehabis jam istirahat. Lyn dan segala kebiasaannya tidak luput dari masa lalu.

Aku kembali ke tempat semula bersama Rania. Kulihat perempuan itu sedang bercandaan dengan Gio yang sedang menganggur juga. Sampai tawa mereka harus terpaksa dihentikan karena ada pelanggan yang datang. Rania menyapanya dengan senyuman, dan Gio buru-buru kembali ke belakang.

Ken, pelanggan yang baru datang itu tersenyum sembari melambaikan tangannya ke arahku. Lagi-lagi Rania memasang ekspresi menyebalkan karena tahu bahwa Ken itu termasuk ke dalam golongan degemku alias dedek gemes.

Melihat Ken, aku jadi teringat kejadian di jalanan tadi. Entah aku harus bersikap bagaimana menghadapi Ken. Tidak tahu juga kebenaran yang mungkin berbeda dengan yang ada di pikiranku pagi tadi. Semoga saja itu hanya dugaan burukku saja.

***


Outfit Lyn pagi ini. Sangat amat kece😖

Baby, Haru [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang