Sekitar satu jam lebih Ken menungguku tidak sibuk. Berbeda dengan Lyn, Ken justru bolak balik ke meja kasir untuk memesan makanan. Dia pasti bosan menunggu selama itu, apalagi tidak ada yang menemani.
Tepat setelah Ken ingin berdiri dari tempatnya, aku datang menghampiri. Duduk di meja sebrangnya sembari membenarkan kunciran rambut yang kendor. Senyum Ken mengembang.
"Udah gak sibuk, Teh?" tanyanya. Aku melihat sekeliling, kemudian mengangguk.
"Ya, untuk saat ini enggak terlalu kayanya," jawabku. "Kamu ke sini ada perlu sama aku atau karena gak ada teman?"
Ken mengusap tengkuknya, terlihat sekali bahwa dia sedang menyiapkan sesuatu untuk dikatakan. Kebiasaannya seperti itu. Aku hanya diam memperhatikan kalimat apa yang akan keluar dari Ken.
"Aku ada perlu sama Teh Lian. Terus juga mau minta maaf soal tadi pagi. Teteh pasti kaget ya?"
"Kaget kenapa?" Aku pura-pura tidak tahu. Ken ini gampang sekali terpancing jika urusan menjelaskan, tapi beda lagi dengan urusan emosi, dia sangat sabar, bahkan melebihi ibuku.
Kedua tangannya terlipat di atas meja. "Itu, soal nyalip mobil teman Teteh. Kalian gak apa-apa kan?"
Lihatlah, dia bahkan mengkhawatirkan orang lain. Tidak takut jika dirinya akan dimarahi setelah ini. "Itu pasti bukan ulah kamu kan?"
Ken gelagapan sendiri. Dia sepertinya bingung harus menjawab apa. Ekspresinya sangat tertebak jika sekarang ini sedang berpikir keras.
Memajukan posisi tubuhnya, dia berbisik, "Jangan marahin Haru ya. Itu bukan salah dia. Emang aku yang mau karena kesal ngeliat raut mukanya yang kusut banget."
Hening selama beberapa saat, Ken melanjutkan kemudian, "dia bahkan marahin aku begitu tiba-tiba nyalip. Sekarang malah ngambek, gak mau ngomong sama aku."
Mataku terpejam, menyesal telah berburuk sangka. Rupanya bukan Haru yang memerintahkan Ken untuk menyalip, justru Ken sendiri yang inisiatif.
Aku menepuk jari-jari tangannya, "iya gak apa-apa. Aku juga minta maaf udah nuduh kamu." Ken tersenyum. "Untuk urusan Haru, biar nanti aku yang tanganin ya. Kamu gak usah terlalu mikirin."
"Iya Teh. Makasih."
Ponsel Ken yang berada tidak jauh dari gelas kosong, berdenting. Tidak sengaja mataku tertuju pada benda itu. Sudah hampir tengah hari rupanya.
"Kamu gak ada kelas? Bukannya tadi pagi bilang, ada kelas siang?"
Kedua mata Ken hampir keluar begitu aku bertanya seperti itu. Dia buru-buru melihat ponselnya yang masih menyala. Setelahnya dia berdiri. "Duluan ya Teh, udah telat 7 menit."
"Iya silahkan. Hati-hati nyetirnya. Jangan ngebut." Aku mengikutinya hingga ambang pintu. Ken nampak seperti sedang dikejar sesuatu, dia terlihat ceroboh saat ini karena beberapa kali menjatuhkan kunci mobilnya dan salah memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
Anak itu melambaikan tangannya dari dalam setelah berhasil masuk mobil. Setelah kubalas melambai, dia menjalankan mobilnya sedikit cepat. Ken pasti sangat panik saat ini.
Tidak bisa dibayangkan jika aku yang berada di posisinya, pasti akan lebih panik. Apalagi hanya mengandalkan kendaraan umum. Sudah pasti langsung kena usir begitu sampai depan kelas karena telat satu jam.
***
Aku berbalik setelah membayar ongkos ojek online. Senyumku mengembang sembari mengeratkan pegangan pada plastik yang berisi macaroon di dalam kardus kotak. Semoga saja Haru suka. Sengaja aku membelinya agar dia bisa diajak bicara baik-baik mengenai masalah tadi pagi.
Mataku iseng terarah ke balkon kamarnya. Kukira sepi, ternyata orang yang sedang dipikirkan tengah duduk di sofa, sibuk dengan kamera di tangannya.
Satu tanganku yang bebas merogoh saku. Begitu menemukannya, aku melempar ke arah Haru hingga dia menoleh. Aku mengangkat bingkisan yang kubawa, sembari berjalan mendekat.
"Sibuk gak? Aku punya sesuatu."
Haru menyimpan kameranya, kemudian berdiri dan bersandar pada pagar pembatas. Dia mengangguk. "Naik aja, Kak," balasnya membuat senyumku semakin lebar.
Dengan langkah lebar-lebar, aku masuk ke rumah utama dan langsung menuju kamar Haru. Moodnya pasti sudah membaik, mengingat dia terlihat santai seperti tadi.
Kubuka pintu kamar bercat hitam itu dengan perlahan. Kosong, kupikir Haru masih di balkon, tapi begitu kakiku sudah menapak lantai kamarnya, aku terkejut karena ada yang mengagetkan dari arah balik pintu.
Plak!
Tanganku melayang ke pundak laki-laki jangkung di sampingku yang sedang cengengesan ini. "Kamu ada niat mau bikin aku mati muda?" Aku meliriknya sengit.
"Enggak Kak, bercanda. Maaf." Haru kemudian menarik tanganku.
Langkahnya membawa kami ke sofa balkon, tempat yang paling tepat untuk melihat matahari sore. Menyimpan bingkisan di atas meja, aku mengikuti Haru duduk.
"Gimana sekolah hari ini?" tanyaku sembari mengeluarkan kotak macaroon dari bungkusnya.
Haru menyandarkan punggungnya ke kursi, diam sebentar sebelum menjawab. "Hari ini full latihan buat pensi, kebetulan juga seharian jamkos. Flat, seperti biasa Kak." Alisnya terangkat.
"Nih makan dulu, biar hari kamu ada manisnya walaupun cuma bersifat sementara." Haru mengambil satu macaroon berwarna hijau dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.
"Puitis banget. Lagi seneng ya?"
Aku menggeleng sebagai jawaban. Perasaanku terlalu campur aduk, susah didekskripsikan saat ini. "Justru bingung, karena kamu marah sama Ken."
Kunyahan Haru terhenti sejenak, sebelum mengunyahnya dengan cepat dan menelannya kemudian. "Jelas marah, karena dia salah," katanya dengan nada tegas. Terlihat tidak mau kalah.
"Iya dia salah. Tapi bisa gak kalo kalian baikan?"
Tidak bisa dibayangkan jika berhari-hari suasana rumah ini begitu mencekam karena mereka berdua. Aku juga tidak siap jika jadi bahan aduan mereka, sangat memusingkan.
"Gak," jawab Haru acuh tak acuh. Tangannya mencomot lagi macaroon berbeda warna.
Kedua tanganku saling bertaut. "Dia bahkan minta maaf langsung ke aku tadi siang loh. Masa kamu gak mau maafin juga?"
Kali ini arah tubuh Haru sepenuhnya menyamping berhadapan denganku. Dia bahkan menopang dagu dengan siku yang bersandar di punggung sofa. Terlihat sangat perfect untuk menggoda teman duduknya. Bahkan ekspresinya pun mendukung.
"Ada syaratnya," katanya.
"Apa?"
Ayolah! Akan kulakukan apapun agar dia dan Ken berbaikan, demi kedamaian rumah ini.
"Minta waktu Kak Lian seharian besok, bisa?"
Alah kampret! Kalau gini syaratnya sih aku tidak bisa. Meninggalkan uang demi Haru, sangat tidak bisa. Tapi apa boleh buat, demi Ken, demi kedamaian juga. Mengalah sekali lagi sepertinya tidak masalah.
"Iya, bisa," jawabku. Garis bibirnya melengkung ke atas, matanya bahkan ikut tersenyum. Haru terlihat sangat senang. Syukurlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby, Haru [REVISI]
FanfictionMenjadi orang yang ketergantungan itu tidak mudah. Lian Septiani harus banyak sabar menghadapi seorang Haru Abrisam. Segala tingkah Haru yang membuat Lian darah tinggi, dan ungkapan tiba-tiba yang hanya lelaki itu mengerti, hingga suatu hari sikap H...