ARCANE

4 0 0
                                    


(n) - ar / ke / in

sesuatu yang rahasia, misterius, hanya dimengerti oleh sebagian kecil orang

---

Antonius Martin Atmadja, usianya hanya berbeda satu tahun dariku. Mendapatkan nilai hampir sempurna di mata Natasha Gunawan. Tampan, tinggi, berkulit putih, berdada bidang, cool, misterius, pintar dan berkarir cemerlang. Dikenal sebagai "pembunuh berdarah dingin" bagi banyak orang, tapi tidak untuk Acha. Beberapa bulan terlibat dalam tim yang sama membuat Acha mengerti siapa Antonius Gunawan dibalik citra yang dibentuknya selama ini. Pertama kali mengetahui adanya spesies tampang di naungan perusahaan tempatnya bekerja membuat Acha merasa lega.

"Tuhan baik, biar ada yang bisa dilihat kalau dia dateng ke cabang. Ngga yang burem mulu. Kasihan mata gue" begitu katanya pada Bang Didi ketika Pak Anton datang berkunjung ke kantor.

Menjadi buah bibir semua karyawan berjenis-kelamin perempuan adalah definis dari Pak Anton. Si tampan yang dingin. Tidak satupun dari kumpulan ibu-ibu PKK itu yang bisa akrab dengannya. Maka aku, si kacung level keset toilet ini pun tak pernah berandai-andai akan dekat dengan si cemerlang. Sampai Tuhan membelokkan kemudi atas perjalananku. Rasa takut dan segan itu berubah dalam beberapa bulan. Arcane adalah definisi yang tepat untuk menggambarkan seorang Antonius Martin Atmadja. Sesuatu yang rahasia, misterius dan hanya dimengerti oleh sebagian kecil orang. Natasha Gunawan akan sangat wajar menjadi bangga karena masuk ke dalam sebagian kecil orang itu bukan? Haha.

Pak Anton si chiller suhu rendah sudah berubah menjadi Ko Anton si dispenser. Sama sekali berbeda. Acha cukup tahu diri untuk tidak berharap ada yang lebih di antara mereka berdua. Meskipun tidak jarang pesan singkat atau panggilan telepon yang terjadi di antara mereka berdua membuat Acha berbunga-bunga. Beberapa kali Acha menceritakan Ko Anton pada Airin dan Acha sadar, ini bukan lagi harapan. Ada secercah harap yang seringkali ditepisnya.

---

"Kak, yuk makan siang!" Dika menepuk pundakku. Hari ini Dika dan Ko Anton datang ke cabang, seperti biasa, akan ada jadwal makan siang bersama.

"Acha, kita makan siang dulu yuk" suara Dewa Petir menggelegar. Aku mengangguk. Merapikan dokumen lalu mengekor di sebelah Dika.

"Kak, lo satu mobil sama gue aja ya. Itu si Kokoh disuru jadi driver mobil barunya si Bos hahahahaha. Biarin aja dia sendiri" Dika cekikikan membayangkan Ko Anton yang sudah pasti dengan template wajah kakunya harus beramah-tamah dengan Dewa Petir.

Makan siang kali ini bertema masakan Jawa Timur. Aku dan Dika memilih duduk berhadapan di ujung ruangan demi agar tidak perlu berdampingan dengan Dewa Petir. Biar Dewa Petir bersama dengan Bu Sita, Kak Yara, Ko Anton dan yang lain. Namun rupanya Ko Anton melihat celah surgawi, secepat kilat dia meletakkan kunci mobil di sebelahku.

"Aku duduk di sini. Dik gue duduk sini, jangan ada yang duduk di sini. Gue mau ke toilet dulu" katanya sambil berlalu.

"Maaf bu, pak, itu yang di sebelah Kak Acha tempatnya Ko Anton ya. Dia sudah booking sambil lari ke toilet tadi. Jangan ada yang duduk di sana ya, saya takut kena SP" seloroh Dika. Aku menahan tawa melihat kelakuannya.

Aku dan Dika jatuh pada menu nasi campur babat penuh lemak yang memanggil-manggil kolesterol kami sejak di depan restaurant tadi. Sedang Ko Anton memilih seporsi rawon. Pesanan datang, aku dan Dika duduk tenang mengikuti gerakan waitress meletakkan satu per satu piring sesuai pesanan.

"Aduh..." setengah kuah rawon milik Ko Anton keluar dari arenanya. Tumpah. Bukan, ini bukan salah si waitress, ini adalah salah Ko Anton yang menarik mangkuk rawon panas dengan tenaga ekstra. Lagi, aku dan Dika menahan tawa.

CARAPHERNELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang