OBLIVION

11 0 0
                                    

(n) – o / bli / vion

tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar kita

---

Selain diciptakan sebagai seorang ambivert yang mudah beradaptasi dengan ke-awkward­-an linkungan, Acha juga diciptakan sebagai seorang dengan tingkat kepekaan rendah terhadap perubahan sekitar. Bukan, bukan tidak perasa. Acha justru sangat perasa, cuma nonton Upin Ipin tampil di acara Unicef tanpa orangtua saja, Acha bisa nangis sesenggukan. Tidak peka ini dikaitkan dengan kemudahan Acha untuk mempercayai bayak hal yang pada dasarnya sedang menipu dirinya. Ah iya, satu lagi, soal perasaan kepada lawan jenis, Acha ada diurutan teratas tentang kepekaan.

Entah kurang membekali diri dengan realita kehidupan perkantoran atau memang Acha terlampau menganggap semua orang adalah orang baik, mudah sekali bagi mereka yang merasa terancam dengan kehadiran Acha untuk menyingkirkan Acha tanpa disadarinya. Setelah berminggu-minggu bergelut dengan emosinya sendiri, akhirnya Acha menyadari ada yang salah dengan salah satu anggota timnya. Asal-muasal si Bos bermimik mendung menuju badai selama ini.

"Acha, saya rekrut kamu untuk handle semua case baik di cabang maupun di pusat. Kalau kamu masih lempar-lempar pekerjaan seperti ini, apa gunanya saya ambil kamu masuk ke dalam team?" cecar si Bos di siang super cerah dengan 9 matahari di atas kepala. Aku diam tidak bergeming, mencoba memahami kondisi yang terjadi.

"Kenapa kamu main lempar dokumen ke pusat? Harusnya itu under kamu dong!" suara si Bos sudah berubah menjadi Dewa Petir on duty. Di dalam ruangan yang sama ada Kak Yara dan Bu Sita. Keduanya juga diam tak bergeming. Sekali lagi aku mencoba mencerna, memanggil semua memori di otak bagian manapun.

"Saya ngga mau ya dengar cerita seperti ini lagi, ngerti Cha?" tanya si Bos masih dalam oktaf ke 9 nada suara khas kaleng kerupuk jatuh dari lantai 20 di tangga darurat. Aku hanya mengangguk seolah paham, meskipun sama sekali tidak pernah memahami sedang ada apa.

----

Oblivion, tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Setengah hari dijalani Acha dengan semangat yang sudah menguap ke luar angkasa dan tenaga yang terhirup ke kerak bumi. Malas.

"Cha, ganggu ngga?" Kak Yara menghampiriku. Aku menggeleng sambil tetap menampilkan senyum terbaik dari seorang marketing favorit semua cabang dan head office tapi bukan favorit Dewa Petir. Miris.

"Cha, sebenernya yang kasih kamu instruksi untuk pusat handle dokumen order Bhirawa siapa?" tanya Kak Yara hati-hati. Ah! Sekarang aku tahu sumber kesialanku beberapa minggu ini. "Bu Sita kak, kan kakak ada waktu aku konfirmasi sama Bu Sita" jawabku tetap tenang meskipun amarah sudah ingin kumuntahkan.

"Hmm, aku juga ingetnya gitu. Tapi Kak Sita kenapa diem aja tadi waktu kamu disembur sama si Bos? Kan dia yang suruh. Kok kamu juga ngga jelasin ke si Bos?"

"Aku butuh setengah hari buat ngerti dokumen Bhirawa yang dimaksud, kalau Kak Yara ngga nyamperin aku, mana aku tahu maksud si Bos kak?" tanyaku pasrah. Dewa Petir tidak akan menerima revisi penjelasan apalagi merevisi amarahnya yang salah sasaran. "Biar aja kak, udah terlanjur ini. I'm okay kak" lanjutku.

---

Sejak hari itu, aku tahu, bahwa tidak semua manusia bisa aku percaya. Iya, hari itu saja, selanjutnya sepertinya aku masih tetap polos hahaha. Bang Didi yang mendengar semua ceritaku hanya tersenyum kecut sore itu. Katanya: banyak manusia jahat pakai topeng baik di dunia kerja, lo jangan jadi anak polos yang terus-menerus menganggap semua orang baik. Sebaik apapun mereka, lo cukup menganggap mereka ada tanpa harus berakrab ria.

Aku tidak berusaha memulihkan nama baikku di depan Dewa Petir, karena aku sama sekali bukan tipe manusia suka bermanis mulut untuk sesuatu yang menurutku bukan style-ku. Cukup bagiku masih ada orang yang percaya bahwa aku tidak bersalah dan tidak ada yang salah dengan diriku. Bulan berjalan, Dewa Petir masih saja tidak menganggapku ada, tapi bukan masalah. Bukan masalah yang sebetulnya masalah. Natasha Gunawan seringkali memaklumi banyak masalah menjadi sesuatu yang bukan masalah. Melukai diri sendiri demi tidak menciptakan keributan, typical Libra sejati.

---

Keadaan di rumah masih sama, kami berbehagia dan bersyukur atas banyak hal. Ibu masih berjuang melawan penyakitnya, seolah tidak ada yang salah dengan kesehatannya. Kami, melakukan hal yang sama. Akhir minggu ini akhirnya kami memutuskan untuk berlibur ke Bogor, staycation.

"Bu, Ricky baik ya?" tiba-tiba kakakku mengeluarkan celetukan yang aku-pun tidak tahu darimana ilhamnya. "Ya meskipun ngga masuk grade A kategori ketampanannya, tapi kan oke ya Bu?" lanjutnya. Ibu tersenyum.

"Ih apaan sih teh? Kok jadi bahas Ricky?" sungutku.

"Ricky baik dek, Ibu juga suka" sela Ibu. "Barangkali Allah kasih jalan, kan ngga masalah" ibu tersenyum. Aku? Aku cuma terdiam. Bingung harus menanggapi apa.

Ricky adalah temanku. Teman sekedar lewat. Aku mengenalnya di masa perkuliahan, sebenernya menurut Ricky aku adalah temannya sejak SMP, sayangnya aku tidak pernah tahu kami ada di sekolah yang sama saat itu hahaha. Satu lagi kelemahan Acha, susah menghapal wajah, nama dan menyadari apa yang ada di sekitarnya. Hubungan kami sekedar teman sekolah, teman kuliah.

Beberapa kali memang Ricky dan aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta bersama karena kebetulan rumah kami dekat. Acha si anak nebeng ini tidak akan menolak jika ada tumpangan gratis dari Bandung ke Jakarta. Oportunis. Sebelum aku bergabung di kantorku saat ini pun, Ricky beberapa kali mengantarku interview ke beberapa perusahaan. Dia baik. Iya, aku yang oportunis hahaha. Tapi sebaik apapun Ricky, kami hanyalah teman. Ricky dengan hidupnya dan aku dengan hidupku.

Kembali lagi ke Ibu, Ibu bukan tipe orang tua yang membahas teman laki-laki anaknya. Setiap kali aku dan kakakku memiliki pacar, Ibu pun tidak pernah berkomentar suka atau tidak suka. Baru kali ini Ibu berkomentar dan memberikan "restu" atas pertemananku dengan Ricky yang tidak spesial ini. Tapi, sejak itu lah kerumitanku dan Ricky bermula.

CARAPHERNELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang