Kartu ilang

18 6 11
                                    

Hiruk pikuk jalanan ibu kota memasuki indra pendengaran Azri, ia berkali kali memencet klaksonnya ketika tak ada space untuk mobilnya yang dipepet beberapa kendaraan. Ya Azri terjebak macet, untuk kesekian kalinya.

Tentu bangun pagi bukan kebiasaannya, tidak ada kata tepat waktu dalam kamusnya. Azri si kang molor, yang suka ngaret dalam hal apapun. Gadis itu mengibaskan rambutnya kesal, tangannya terulur mengambil bungkus coklat dari dashboard mobilnya dan memakannya sebagai usaha manaikkan moodnya.

Setelah selang dua puluh menit lamanya, Azri dapat menjalankan mobilnya kembali. Menyusuri jalanan ibukota hingga sampai di gerbang sekolah dengan papan nama SMA BRATASENA yang sangat terpampang jelas.

Azri memasuki gerbang, mengeluarkan uang lima puluh ribuan untuk ia berikan pada satpam di pos. "Pak, buat beli rokok." Sudah menjadi kebiasaan yang sangat ia hafal. Satpam itu tersenyum, mengangguk beberapa kali dan akhirnya membuka gerbang lebar-lebar agar sang tuan putri masuk.

Azri melempar rambutnya ke belakang bahu, ia turun setelah memakirkan mobilnya dan berjalan menuju lapangan yang ramai oleh siswa berpakaian biru putih dan beberapa orang beralmameter osis yang berbaris rapi sebagai pemimpin.

Hari ini merupakan hari pertama tahun ajaran baru, tentunya hari pertama Azri menginjakan kaki di kelas sebelas. Dan anak-anak berpakaian biru putih itu, tengah menjalankan serangkaian kegiatan MOS.

Azri berjalan manis bak model, ia mengambil kacamata yang terselip di roknya lalu memakainya. Dengan penuh percaya diri Azri berjalan menuju kerumunan anak-anak MOS itu.

"Hai adik-adik, how's your day?" sapanya ceria.

Wajah cengo dan tatapan heranlah yang didapati Azri. Akhirnya gadis itu berdecak, ia menurunkan sedikit kacamata hitamnya ke bawah hidung mancungnya. "Ditanyain kok diem aja, patung lo?"

Para anggota osis yang tadi tengah memberikan arahan kepada para peserta didik baru itu hanya termangu kaku karena kehadiran Azri. Tidak ada yang melawan karena hampir semua orang beralmameter itu segan kepadanya. Siapa yang tak tau koneksi Azri? Gadis yang bisa mendapat apa saja dengan mudah, bahkan dengan satu kedipan mata dia dapat menggaet sepuluh cowok yang terpikat padanya.

Kecuali satu cowok manis di sana yang sedari kehadiran batang hidung Azri, ia mulai menggertakan giginya kesal, dia Arwin, kembaran Azri of course.

Cowok dengan rambut kecoklatan itu menggeret lengan Azri ke belakang untuk keluar barisan. Tentu saja sebagai anggota osis ia sangat sangat keberatan dengan tingkah gila kembarannya yang mencoba menarik perhatian.

"Apa-apaan sih lo," Arwin meluapkan kekesalannya yang memuncak.

Azri memutar bola matanya. "Tegang banget sih lo, orang gue cuma nyapa aje."

"Kalo caper liat-liat kondisi dong, ini bukan hal yang bisa dibercandain."

Azri terhenyak ketika mendengar nada penuh intimidating di kalimat Arwin. Dengan takut-takut ia langsung mengusap bahu kembarannya untuk menenangkan.

"Lo marah beneran beb? udah dong jangan emosi, takut bayi gue jadi thanos," ucapnya masih dengan mengusap-usap kedua bahu Arwin yang dadanya masih kembang kempis.

"Minta maaf sana," suruh Arwin.

"Maaf."

"Hih bukan ke gue, ke anggota osis yang lain, sama adik-adik kelas, sama Kak Pandu tuh yang tadi lagi ngasih arahan." Arwin mengarahkan tangannya untuk menunjuk cowok yang tengah berdiri menatap ke arah mereka dengan tangannya yang membawa beberapa tumpuk kertas.

Azri mengernyit, ia lalu mengikuti arah tunjuk Arwin. Lalu ia menemukan cowok yang ia ketahui sebagai ketua osis itu tengah melambai kecil ke arahnya.

Cause i want uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang