"Pertama, apa kalian tidak curiga dengan gadis itu?"
Eso yang tengah asik mengunyah makanan menatap kakak tertuanya dengan alis mengernyit, "maksud kakak?"
"Iya, gadis itu aneh," ucap Kechizu membenarkan ucapan kakaknya. Sementara itu di rumah dua lantai, (y/n) yang sedang sibuk mengupas wortel tiba-tiba saja bersin dan merinding.
Choso menatap adik bungsunya lalu menatap Eso yang terlihat berpikir keras sejenak lalu memukul pelan telapak tangannya, "oh! Maksud kakak, (y/n)? Ya, dia memang manusia yang aneh." Eso menatap kakaknya, "tapi aku tidak merasakan perasaan buruk atau mematikan darinya, selain dia itu penangis dan suka berteriak kesal."
Choso menghembuskan nafasnya pelan, jelas kedua adiknya tidak mengerti tentang bahaya yang dia maksudkan disini.
Choso melirik kearah hulu sungai, "gadis itu seperti sudah terbiasa melihat kutukan semacam kita. Manusia biasa akan lari terbirit-birit hanya dengan melihat saja. Tapi gadis itu tidak, dia seperti... Orang-orang dengan pakaian hitam yang memburu kita. Penyihir-penyihir itu."
Penjelasan Choso membuat Eso dan Kechizu saling bertatapan, "tapi kak, dia terlalu lemah untuk bisa disamakan dengan penyihir Jujutsushi itu." ucap Eso.
Choso menyenderkan punggungnya kebatu, "ya, kau benar. Dia bukan ancaman berarti bagi kita."
.
.
.(Y/n) menutup keran air dan mengambil sendok nasi. Makan malamnya kali ini adalah kare. Tubuhnya duduk di atas sofa coklat dan mulai menyendok kare beserta karaage yang dia buat.
Matanya fokus pada televisi yang menayangkan pertandingan bela diri antar negara. Bibir dan giginya sibuk memakan makanan.
Tangan (y/n) berhenti menyuap dipertengahan. Meletakkan piring dan berjalan kearah kamar yang terkunci rapat.
Klek.
Satu kali putaran kunci, tangan (y/n) mendorong pintu kayu dan memasuki kamar yang perabotannya ditutupi plastik dan berdebu tebal.
Mata (y/n) jatuh pada kotak musik yang ada di atas meja. Tangannya mengusap jari patung penari balet pelan lalu mengangkat kotak musik itu ke depan wajah.
Bibir (y/n) menghembus pelan debu yang menutupi kotak musik. Jarinya memutar kunci dan membiarkan lantunan Beethoven menggema dikamar kecil itu.
Kaki (y/n) berjalan menuju figura foto yang memampangkan sepasang orang dewasa dengan dua anak perempuan. Wajahnya mengulas senyum pedih menyadari bekas cakaran besar yang merobek sisi bagian wajah kedua orang dewasa itu.
"Juli, tanggal tujuh tahun dua ribu sepuluh. Itu tanggal kematian kalian bukan?" lirihnya pelan.
Ingatannya berputar pada waktu dimana semuanya seolah menjadi malam mencekam dan memakan rasa percaya diri dan optimisnya.
Jeritan keras dan aroma besi menyengat, ingatan itu masih terasa segar di otaknya. Membuat gigi bergemeluk pelan.
Lantunan berhenti, (y/n) keluar dari kamar, mengabaikan jejak hitam kering yang ada dilantai. Jejak darah mengering yang sudah bertahun-tahun tidak dibersihkan dan dibiarkan tetap seperti semula.
Satu-satunya yang tahan dengan aroma menjijikkan darah dan ingatan kelam, (y/n) lah yang orangnya.
Tangan (y/n) mengusap dinding pelan, meninggalkan jejak gores hitam panjang dan tersenyum tipis dengan mata dingin.
"Aku merindukan kalian," lirihnya pelan. "Aku juga merindukan masa-masa sebelum semua itu terjadi, ayah... Ibu..."
.
.
.(Y/n) duduk menyender dipagar, dia tidak bisa turun kebawah karena salah memakai sepatu. Bibirnya menghembuskan nafas pelan, salahnya memakai high-heel setinggi sepuluh senti.
(Y/n) berdiri dan mencoba mencari jalan turun lain selain menuruni jurang itu. Kakinya berjalan memasuki semak-semak dan mencoba melangkah lebar.
"Kalau kau memakai sepatu seperti itu untuk berjalan turun, bisa-bisa kakimu patah."
Sahutan suara dari belakang membuat (y/n) berbalik cepat tanpa menyadari kakinya sudah tergelincir.
Tangan besar sang kakak tertua mencengkram kerah baju (y/n), "oi Bodoh! Kau hampir tertusuk batang pohon tajam dan tewas ditempat!" pekiknya kesal.
"A-aku tahu! Cepat! Cepat tarik aku!" jawab (y/n) berteriak balik.
Bukannya menarik tubuh (y/n), Choso malah menahannya dan menatap gadis itu datar, "apa kau tidak diajari kata tolong? Manusia mengatakan itu jika meminta bantuan, kan?"
"Kau mempermasalahkan itu saat ini--?!?!"
Kaki (y/n) tergelincir, tangannya menarik pakaian Choso dan membuat keduanya berguling menuruni jurang.
Choso tanpa sadar mengalungkan tangannya ke belakang kepala dan pinggang (y/n). Keduanya hanya berhenti tepat setelah tubuh Choso menabrak batu besar.
"Aduh!" pekik (y/n).
Debu berterbangan, membuat (y/n) terbatuk pelan dan menatap wajah yang terlihat jengkel dan hanya berjarak beberapa senti darinya.
Kedua tangan (y/n) refleks mendorong wajah Choso dan membuat kepala belakang laki-laki itu menghantam batu yang ada di belakang tubuhnya.
"Oi?!" pekik Choso kesal. Keningnya mengkerut menatap wajah (y/n) yang terlihat merasa tidak bersalah karena membuat kepalanya menghantam batu dua kali. "Minta maaf!"
(Y/n) mendelik, "salah sendiri tidak menarikku cepat tadi! Kita tidak akan berakhir seperti ini kalau kau menarikku cepat tadi!"
Choso gemas ingin meremas manusia di depannya. Tangan kiri Choso mengusap kepalanya yang berdenyut, niat hati ingin menakuti gadis itu, dia malah berakhir mengenaskan.
"Sial."
.
.
..
.
..
.
.T
B
C.
.
..
.
..
.
.See you next chapter
18 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
⚛ Epoch (Choso x Reader)
FanfictionGadis yang datang tiba-tiba di kehidupan mereka, bukan, tapi merekalah yang memaksa gadis itu masuk karena sebuah kata... nyaman. . . . . . . start: 13 Februari 2021 end :