Seingat Megumi, ia masih berada di gudang dengan pencahayaan minim. Lima orang penjaga mengelilingi kursi dan menendang serta memukul berkali-kali. Seluruh tubuh juga wajahnya memar. Sendi yang seharusnya bergerak untuk membalas hantaman terikat kuat dengan tali. Dengus kasar lolos dari bibirnya ketika tak ada lagi usaha yang dapat dilakukan.
Sebagai seorang ketua geng, ia tidak bisa kalah hanya dengan tindakan pengecut. Lima lawan satu adalah salah satu bagian dari itu. Tapi nyatanya Megumi harus terkulai lemas beberapa jam yang lalu, kurang makan dan tidur, juga mendapat bekas tinju menyakitkan.
Megumi yakin tidak ada yang menyadari kehilangannya. Ia terbiasa pergi selama satu atau dua hari untuk urusan pribadi. Dan tidak ada satupun anggota yang dibiarkan tahu selain Fujinuma, teman sejak kecil.
Sekarang mungkin saja lelaki itu sedang kebingungan seorang diri, tanpa bisa berbuat apapun. Ia tidak mungkin datang ke kediaman keluarga besarnya. Terlalu beresiko untuk meminta tolong pada sekumpulan konglomerat licik. Lagipula mereka adalah orang-orang di balik penyekapan ini--demi mencari dokumen rahasia keluarga yang disimpan mendiang sang ayah di suatu tempat.
Pemuda berambut legam itu mengerjap sekarang, samar melihat lampu gantung mengkilap. Di gudang tidak ada yang seperti ini. Setiap membuka mata, yang ada hanya pemandangan pintu besi, kadang terbuka kadang tertutup. Bila terbuka, yang tampak hanyalah cahaya terang. Lalu sebuah mobil van masuk dan menghalangi semuanya.
Seorang pria pirang akan keluar dari sana, menyapa dengan tatapan keji. Kemudian tendangan dan pukulan datang lagi ketika Megumi menolak untuk menjawab pertanyaan.
"Merepotkan," umpat lelaki itu sembari berusaha duduk. Namun tangan yang lemah tidak dapat menopang tubuh. Ia berkeringat dingin, gemetar, dan sesak. Seperti sensasi di ambang kematian. Tapi akalnya enggan terlelap.
Ingatan demi ingatan menyakitkan muncul satu persatu seiring ia menyadarkan diri. Sekarang tangannya dapat meremas permukaan halus seprai. Megumi melirik ke bawah dan menemukan bahwa kain tebal berwarna putih gading sedang menyelimutinya.
Ini sebuah kamar. Megumi bisa menebaknya. Kamar beraroma kayu manis nan hangat. Lelaki itu menekuk lututnya sendiri, mencari kenyamanan di dalam selimut. Kelopak matanya masih terasa berat karena dipaksa berjaga terlalu lama. Pusing sedikit tertinggal di kepala Megumi. Erang pelan lolos dari bibir ketika lelaki itu mulai menyerah karena kekurangan stamina.
Si pemuda jatuh ke dalam mimpi. Hanya sesaat, beberapa menit sebelum ia merasakan sedikit guncangan pada ranjang akibat pergerakan seseorang di sebelah.
Seseorang di sebelahnya.
Perlahan lelaki itu mengerjap, menemukan sepasang manik merah tengah menatapnya juga. Sorot yang hangat, seperti aroma kayu manis yang menguar lembut di seluruh ruangan ini.
"Sudah bangun?" tanya sosok dengan suara bariton. Ia berbisik seolah tidak ingin mengganggu tidur Megumi.
"Ini di mana?" Pemuda itu menyahut pelan. Matanya berangsur-angsur terbuka lebar karena usapan teratur pada kepalanya. Ia belum pernah tidur seperti ini. Belum pernah sejak terakhir kali ia tidur dalam buaian sang ayah. Itupun ketika usianya masih tiga tahun.
Kekeh pelan tertangkap oleh telinga Megumi. Sosok di sebelahnya yang terkekeh. Kemudian usapan pada rambut berpindah ke pipi, mengirim perasaan nyaman dalam diri lelaki itu.
"Kamarku. Di hotelku."
Siapa orang ini? Mengapa ia dengan begitu santai mengatakan bahwa mereka tidur berdua di hotel?
Megumi memeluk tubuhnya sendiri, merasakan kulit yang sedikit lembab tanpa tertutup sehelai benang pun. Jemarinya perlahan turun dan meraba perut, lalu kaki yang sejak tadi ia tekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
dearly | sukufushi
FanfictionDari semua opsi yang berada di depan mata, Fushiguro Megumi berharap ada pilihan lain. Ia berharap seseorang yang dapat membantunya mengatasi perseteruan pelik keluarga ini bukanlah orang seberbahaya Ryomen Sukuna. [ sukufushi, bxb, romance, crime...