3. Memaafkan

300 44 11
                                    

Ini tahun terakhir dan tahun pertengahan bagi mereka. Naka belajar banyak pelajaran, pun Dio mulai mengenal banyak orang. Utas yang berarti belum pernah nyata bentuknya, hanya sapa dan senyuman sopan. Namun, hari ini, Dio Rama menemukan sosok kokoh Nakavaro yang terdiam di bangku pada sudut jalan pedestrian kota yang sepi. Pukul sembilan malam yang dingin karena Jakarta diguyur hujan sore harinya, pedestrian luas itu terlihat aneh karena sunyi dan bulan benderang menjadi hiasnya, serta seseorang berseragam sekolah dengan jemari memutih menahan angkara terduduk di sana.

.

.

.

Siang hari ini matahari separuhnya tertutup awan-awan yang berebut menyelimuti, Dio yang sekarang kelas sebelas sedang membentangkan jaring bola voli yang panjangnya tiga kali dinding kamarnya yang sempit di tengah lapangan bersama teman sekelasnya yang lain—mempersiapkan pelajaran olahraga yang entah mengapa diadakan tengah hari. Sebagian besar murid yang lain sibuk melakukan pemanasan, beberapa baru masuk lapangan karena terlalu lama berganti baju atau pasca kabur ke kantin yang entah mengapa selalu ramai walau jam pelajaran masih berlangsung. Sekolah khusus laki-laki, Dio memakluminya karena ia pun beberapa kali mengambil kesempatan untuk membeli gorengan dan es teh manis di sela pergantian jam pelajaran.

Minggu depan adalah hari pelantikan organisasi siswa intra sekolah, Dio sering kedapatan menatap kosong tumpukkan ikan di tempat biasa ia membantu nelayan-nelayan memilah—hanya karena memikirkan hari itu datang. Dio adalah baja saat berbicara mengenai mentalnya, namun tidak bohong kalau dirinya khawatir tidak mampu berbagi waktu antara organisasi yang kelak ia kontrol bagian internalnya dan pekerjaannya untuk bertahan hidup yang menggunung tinggi.

Sebuah bola voli menggelinding, membentur sepatu usangnya yang berlubang kecil di bagian tumit. Dio mendongak dan melihat Johnny di sana, teman sekelasnya yang telat sekolah karena peraturan kolot pemerintah yang mengharuskan usia tujuh baru masuk sekolah dasar. Senyumannya lebar, menandakan ajakan bermain yang penuh semangat. Dio memungut bola itu dengan cepat, berlari kecil ke arah beberapa kawan kelompoknya dan bersiap melakukan permainan yang dikawal guru olahraga mereka. Masa bodoh, pikir Dio—hari ini biarkan dia bersenang-senang di lapangan yang sejuk menjelang hujan, soal OSIS dan tumpukkan ikan masih bisa dipikirkan kembali pukul dua siang nanti.

Bola melambung tinggi-tinggi, senyuman Dio mengembang tiap timnya memperoleh angka. Desau angin semakin keras diikuti wangi hujan yang terbawa jauh kemana-mana, namun tidak ada yang hendak menghentikan permainan karena dasarnya pun mereka terbiasa bermain hingga kuyup terguyur hujan. Satu jam kemudian Dio mengistirahatkan tubuh di pinggir lapangan, meneguk sebotol air putih entah milik kawannya yang mana karena sudah terlalu haus. Gemerincing gantungan logam di dekat meja guru piket menarik perhatiannya; netra melihat sosok yang surainya diikat longgar dengan kemeja lengan panjang digulung sesiku, menggendong kucing putih yang dipelihara penjaga sekolah untuk menggapai gantungan penghias lorong itu dengan tawa yang manis.

Abimanyu Nakavaro, Dio mengingatnya dengan sangat baik. Kakak kelasnya yang selalu tersenyum sopan dan terlihat sibuk tanpa kenal lelah. Dio mengingatnya karena suaranya yang selembut beledu pada hari terakhir masa orientasi sekolah dan namanya yang masih ada di kotak masuk surat elektronik yang penuh miliknya. Dio memerhatikan bagaimana yang lebih tua menurunkan kucing dari gendongannya, mengambil setumpuk kertas yang berada di meja guru piket, dan berlalu ke arah kelas ilmu sosial.

"Naka?" Suara berat Johnny membuat Dio menoleh buru-buru, terlihat bingung melihat cengiran sosok di sampingnya yang kini ikut terduduk dan menikmati sejuknya Kota Jakarta dimusim penghujan.

"Naka tuh temen kecil gue," Suara berat itu kembali terdengar, Dio memerhatikan netra Johnny yang memandangi punggung Naka yang menghilang di balik pintu kelas. "—kayaknya sih, ga pantes juga gue bilang temen. Pokoknya gitu. Gue kenal dia dari kita masih kecil, klasik lah—satu perumahan, satu sekolah dasar." Johnny kembali meneguk air mineralnya, menyenggol pundak Dio yang masih sibuk memandangi pintu kelas yang sudah tertutup.

Diorama, DoyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang