Bagian Sembilan

12 0 0
                                    

• Rahasia •

Di balik buku pelajaran tebal yang digunakannya untuk menutup wajah, Adji berkali-kali melirik gadis dengan kacamata minus yang duduk dua meja di sampingnya. Laki-laki itu bersandar di pojok dengan satu tangan memangku di sandaran kursi. Memerhatikan dengan jeli bagaimana gadis itu memangku wajahnya dengan tangan kiri, kemudian menyibak rambutnya sekilas yang menutupi pandangannya.

Perpustakaan itu nampak lenggang sejak jam istirahat berakhir. Beberapa di antara bangku-bangku yang terisi murid menandakan jam kosong di kelas masing-masing. Tidak banyak yang membaca buku seperti Embun, setengah dari umat di sana memilih menghabiskan waktunya untuk tidur.

Melihat Embun dari jauh seperti ini seolah membawanya kembali pada saat pertama kali Adji mengetahui keberadaan adik kelasnya itu. Embun sedang duduk bersandar sambil membaca buku di pinggir lapangan basket seperti kebanyakan anak perempuan yang menunggu pacarnya selesai latihan basket. Bedanya semua perempuan melihat ke arah lapangan, gadis itu menunduk seolah tak peduli pada kejadian di luar novel yang dibawanya.

Di pertemuan kedua, saat Adji mampir ke rumah Jean. Embun yang membukakannya pintu, bertanya dengan wajah polosnya, "Cari siapa, ya?"

Setelah itu, tak ada cara yang lebih tepat untuk menunjukkan bahwa dirinya tertarik dengan gadis itu selain mendekatinya.

Adji tersenyum tanpa disadari. Bukunya sudah diletakkan di atas meja. Kali ini ia terang-terangan menatapnya.

Hampir menit ke tiga puluh, pintu ruang baca dibuka dengan tak sabaran. Tidak ada yang mengambil perhatian, semuanya masih fokus pada apa yang dilakukan. Termasuk Adji. Sampai dengan tiba-tiba bahu kanannya ditepuk dengan keras. "Ji!"

"Apaan sih anjing?!" Adji reflek mengumpat.

Suara itu terdengar hingga ujung ruang. Semua mata menoleh seketika. Adji yang tersadar langsung menutup sisi kanan wajahnya dengan buku sambil menatap si pelaku. Ali, sang Wakil Ketua eskul basket itu mengangkat kedua tangannya sebagai upaya permintaan maaf. Namun wajahnya tak urung membuat Adji seketika menautkan kedua alisnya bertanya.

"Lo sih dicariin kemana-mana malah ada di sini!" Ali menarik tangan laki-laki itu untuk berdiri.

Embun membalik satu halaman lagi. Namun alih-alih kembali membaca, ia malah mengalihkan perhatiannya pada sudut ruang yang diisi kebisingan tadi.

"Bun! Embun!"

Satu ruang itu kembali menghela napas. Embun menoleh dengan kedua alis terangkat, Bita berlari ke arahnya saat menemukan dirinya.

"Kak Jean berantem!" Dalam satu tarikan napas, Bita mengatakannya. Saat itu juga, Embun berdiri, berjalan tergesa-gesa menuju pintu diikuti Bita yang memberitahu di mana perkara kejadiannya.

Koridor kelas XI telah penuh diisi murid-murid yang menonton. Menyeruak masuk ke dalam kerumunan dan berhenti di depan, Embun bisa melihat Jean menonjok teman sekelasnya. Mata yang biasa menatapnya hangat dan jail, tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Wajah Jean memerah padam.

Saat satu pukulan hendak melayang lagi pada pipi kiri Tobi, Embun berlari dan menangkup tangan Jean. "Mas Jean!"

Seolah tuli, Jean menyentak dengan keras kedua tangan Embun di lengannya. Suara jatuh itu terdengar hingga beberapa orang di sana meringis. Namun bukan itu yang dipikirkan Embun. Ia tak peduli rasa sakitnya, matanya berkaca-kaca karena Jean terlihat berbeda. Seolah ada kesedihan yang tersirat dari luapan emosinya.

Entah datang dari mana, dua orang laki-laki tiba-tiba berdiri di dekat Jean dan Tobi. Melerai keduanya dengan satu tarikan paksa.

"Udah, Je!"

RampungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang