Bagian Delapan

25 0 0
                                    

• Peduli •

Jean mengetuk pintu kamar di depannya dua kali, menunggu beberapa detik, sebelum membukanya perlahan. Hening suasana di dalam membuat laki-laki itu bergerak pelan mendekat pada tempat tidur. Ia meletakkan nampan berisi semangkuk bubur ayam tanpa kuah, serta segelas teh hangat di atas nakas samping tempat tidur.

Kali ini, tatapannya beralih pada kertas putih yang dilengkapi logo sekolah tepat di samping nampan makanan yang ia bawakan. Untuk beberapa saat, Jean terdiam, mengambil napas panjang sebelum membuangnya. Ia mengambil kursi belajar di dekatnya, kemudian duduk di samping ranjang.

Embun masih tertidur.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Jean melihat ibunya seperti itu. Arumi jarang sekali marah. Mungkin bisa dibilang, Jean adalah anak paling beruntung karena memiliki orang tua yang sabar dan begitu penyayang. Jean tidak melihat sedikit kekurangan dari mamanya. Tapi hari itu, Arumi dibuat menangis dan marah oleh Embun. Untuk alasan yang mungkin tidak mudah Embun ambil.

Tapi memalukan untuk Arumi.

Jika mungkin wanita itu bertemu lagi dengan adiknya.

Dengan telaten, Jean mengambil handuk kecil di atas dahi Embun, memasukkannya dalam baskom berisi air sebelum memerasnya, lalu menaruhnya di atas dahi perempuan itu kembali. Ketika Jean tak sengaja menyentuh kulit Embun, hawa panas itu masih terasa.

"Dan lo bener sakit sekarang," ucap Jean pelan, hampir seperti bisikan yang hanya mampu didengarnya sendiri. Pandangannya menyapu wajah Embun yang terlihat damai, namun pucat.

Jean mampu bertahan dalam keheningan itu hampir sepuluh menit jika saja ponsel di saku celananya tak berdering kencang.

Ghania WhatsApp voice call.

Menghembuskan napas pelan, Jean mengangkatnya seraya beranjak dari tempatnya. "Iya, kamu udah siap?"

Hari ini, Ulang Tahun Ghania.

Selepas pulang sekolah nanti, Jean harus menepati janjinya menemani acara yang digelar perempuan itu di rumahnya nanti malam karena persiapan sudah dilakukan mereka dari hari-hari sebelumnya. Meski sebenarnya, separuh jiwa Jean ingin menjaga adik sepupunya di rumah.

-o-

Embun tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya dengan napas yang tersengal. Matanya memanas tanpa sadar dan degub jantungnya meningkat dua kali lebih cepat. Terasa tak mengenakkan sama sekali.

Mimpinya buruk.

"Kenapa?" Sebuah suara laki-laki terdengar dekat. "Kamu kenapa?"

Ketika Embun menoleh, guratan kecemasan itu terlihat tulus. Sosok yang terakhir kali memberinya ketenangan di saat-saat Embun butuhkan hadir lagi di sisinya. Duduk di kursi belajar miliknya, sedang satu tangannya yang lain menarik punggung Embun pelan agar tetap terduduk tegak. Perawakannya terlihat segar meski Embun dapat melihat rambutnya yang berantakan, dan kelopak matanya yang terlihat lelah.

"Embun.. dengar saya?" Tanyanya pelan.

Embun mengangguk ragu. Adji menghela napas lega.

Kemudian laki-laki itu mengambil gelas di atas nakas sebelum memberikannya pada Embun. "Minum dulu,"

Selagi Embun meminum air putih, Adji beranjak dari tempatnya keluar kamar. Embun tak berkata apa-apa, ia menegak minum tersebut hingga tetes terakhir. Tenggorokannya terasa kering, dan perutnya bunyi. Tapi Embun tak selera untuk menyantap apapun, pikirannya terbagi pada beberapa kejadian yang kembali membuatnya diam. Mimpinya ketika bertemu Ibu malah membuatnya harus berhadapan dengan Ayah. Ayahnya yang jauh dari kata sempurna. Selalu menyiksa Ibu dengan kata-kata kasar juga tamparan.

Tidak mungkin ayah seperti itu.

Dari arah pintu tiba-tiba Arumi datang, masih mengenakan celemek warna-warni. Rambutnya diikat kebelakang karena berantakan. Embun pikir, Arumi kerja.

Namun hanya dengan melihat sosok Budenya yang datang terburu-buru, kembali membuat Embun merasa dadanya sesak. Embun ingin menangis. Maka ketika mulutnya terbuka hendak bersuara, air matanya seketika menetes dengan deras. Bude buru-buru memeluk Embun. Tapi bukannya mereda, tangis perempuan itu malah menjadi-jadi.

Firasatnya buruk. Perasaannya buruk. Semua buruk.

Apa Embun, tidak seharusnya lahir?

-o-

"Yaudah kalau gitu Adji pulang dulu ya, Tante," Adji beranjak dari duduknya. Menyalimi punggung tangan Arumi yang tersenyum lembut mengatakan hati-hati.

Kemudian pandangan Adji beralih pada Embun yang juga menatapnya. Laki-laki itu tersenyum, lalu langkahnya perlahan menjauh dari pandangan.

Dari arah kanan, sikut Embun dicolek.

"Masih pusing?" Tanya Bude.

Embun menggeleng.

"Anter."

"Apa?"

"Anter nak Adjinya keluar," pinta Arumi dengan dagunya, menunjuk arah Adji pergi. Seulas senyum tipis diperlihatkan pada wajahnya, entah bermaksud apa. "Ayo, nduk."

Embun berdiri dengan canggung. Tidak mengatakan apa-apa lagi, ia berjalan cepat ke pintu keluar. Untungnya Adji masih berdiri tegak di dekat pintu yang terbuka lebar. Pandangannya lurus ke bawah, ke ponselnya yang menampilkan obrolan dengan seseorang. Embun menunggunya.

Sampai tiba Adji memasukkan ponselnya pada saku jaket, berbalik arah dan langsung menemukan sosok Embun yang berdiri lemah di tengah pintu. Adji terkejut, "Embun?"

Perempuan itu tersenyum tipis. Ia melihat Adji berjalan mendekatinya. "Dari kapan kamu di sini?" Suaranya terdengar tak bersahabat, terkesan lemah.

Dan rupanya Adji menangkap hal itu. "Istirahat pertama. Jean bilang, dia nggak bisa jaga kamu."

"Bolos dong?"

Adji tersenyum. "Enggak dong.. izin."

"Izin?"

"Iya, jagain orang sakit." Ia terkekeh pelan. "Ada yang mau kamu tanyain lagi?"

Embun diam.

"Kalo nggak ada, masuk lagi sana! Kamu masih lesu. Butuh banyak istirahat," kata laki-laki itu.

Tak punya banyak pilihan, Embun menurut. Adji juga hendak beranjak dari tempatnya, sepertinya laki-laki itu ingin ke suatu tempat. Tapi baru beberapa langkah dirinya berbalik, Embun kembali ke arah pintu. Namun yang didapatinya hanyalah motor Adji yang sudah bersiap berangkat. Dan sedetik setelahnya, laki-laki itu melaju meninggalkan pekarangan rumah.

-o-

RampungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang